1.
Pendahuluan
Alam dan lingkungan merupakan ciptaan
Allah SWT yang disediakan untuk makhluknya. Manusia sebagai khalifah di muka
bumi bertugas untuk mengelola dan mengeksploitasi demi memenuhi kebutuhan
hidupnya. Dalam rangka eksploitasi tersebut, tentu harus diimbangi dengan usaha
agar kelestarian alam dan lingkungan tetap terjaga (keseimbangan ekosistem). Penciptaan
manusia diberi kemampuan untuk merenung dan menggunakan pikirannya agar dapat
menalar (Nasoetion, 2008). Melalui kemampuan berpikir dan menalar membuat
manusia dapat menemukan pengetahuan baru. Ilmu Pengetahuan merupakan alat bagi
manusia, yang diciptakan dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan umat
manusia. Ilmu
merupakan salah satu hasil usaha manusia untuk memperadab dirinya dan setiap
ilmu tersebut dapat dianggap suatu sistem yang menghasilkan kebenaran. Kata
Ilmu dengan berbagai bentuknya terulang 854 kali dalam Al-Qur’an. Dari segi
bahasa ilmu adalah kejelasan (Quraish Shihab, 2004: 434). Kata ilmu sendiri
berasal dari bahasa Arab yaitu masdar dari ‘alima- ya’lamu berarti tahu
atau mengetahui. Sementara menurut istillah ilmu diartikan idroku syai
bihaqiqotih (mengetahui secara hakiki), dalam bahasa inggris ilmu diartikan
science yang umumnya diartikan sebagai ilmu pengetahuan, meskipun secara
konseptual mengacu pada makna yang sama (Jujun, 1998: 39).
Kemajuan yang
dihasilkan oleh ilmu pengetahuan dalam beberapa dasawarsa terakhir ini serta
keberhasilan menerapkan pandangan-pandangan dan temuan-temuannya, bukan hanya
memperluas cakrawala dan memperdalam kepemahaman manusia mengenai alam semesta,
tetapi juga telah meningkatkan kemampuan kontrol manusia atas daya-daya alam
bahkan atas kesadaran manusia lainnya. Kemajuan ilmu pengetahuan telah
memberikan kepada manusia kekuasaan yang semakin besar atas realitas. Dengan ilmu dapat diciptakan suasana yang lebih baik
dan dengan demikian melalui ilmulah manusia dapat lebih mudah mencapai tujuan
untuk meningkatkan kesejahteraan. Meskipun dalam perkembangannya
kemajuan ilmu pengetahuan tidak selalu mensejahterakan manusia, tetapi banyak
pula keburukan bahkan penderitaan yang dialami oleh manusia sebagai dampak dari
kemajuan ilmu pengetahuan itu sendiri.
Sebagai sebuah disiplin ilmu dan keilmuan, didalamnya
tekandung nilai-nilai seperti etika, moral, norma, dan kesusilaan. Demikian
pula pada aplikasinya, seorang ilmuwan dalam kehidupan sehari-hari seakan
dituntut untuk menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupannya, baik saat
berpikir maupun bertindak. Kendati tinggi ilmu seseorang, apabila tidak
memiliki nilai-nilai yang sudah menjadi semacam aturan dalam kehidupannya dan
tidak memanfaatkan ilmu yang dimilikinya untuk kebaikan dan kemaslahatan orang
banyak orang tersebut tidak akan dipandang tinggi.
Apakah ilmuwan memiliki tanggung
jawab moral dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi? Pertanyaan ini
tidak mudah dijawab. Para pendukung pemisahan ilmu pengetahuan dan teknologi
dari campur tangan etika mengatakan bahwa pertanyaan ini tidak relevan, karena
ilmuwan pasti memiliki tanggung jawab moral. Mereka biasanya mengatakan bahwa
seorang ilmuwan pasti memiliki tanggungjawab moral yang besar, terutama dalam
menjalankan proses penelitian secara ketat mengikuti logika pengembangan ilmu
sebagaimana lazim dipraktikkan dalam sebuah komunitas ilmiah.
Jawaban semacam ini tampak tidak
memuaskan, terutama ketika terjadi praktik penelitian yang tidak etis yang
justru dilakukan oleh para ilmuwan yang sebenarnya tahu batas-batas penelitian
yang etis dan tidak etis. Sebagai contoh, ilmuwan sekaliber Hwang Woo-suk,
seorang guru besar bidang teriogenologi dan teknobiologi di Seoul National
University harus diberhentikan dari perguruan tinggi terkemuka tersebut pada
tanggal 20 Maret 2006 karena terbukti memfabrikasi sejumlah penelitian mengenai
sel punca dan kemudian menerbitkannya di beberapa jurnal internasional dengan impact
factor yang tinggi(Service RF., (2002). Lebih lanjut, ilmuwan psikologi sosial sekaliber Diederik Stapel yang
menggegerkan komunitas ilmiah Belanda ketika pada tahun 2011 diketahui
memanipulasi data-data penelitian untuk kepentingannya sendiri (Cate et al.,
2013).
Sementara itu, penemuan dan
pengembangan ilmu pengetahuan itu sendiri masih bersifat seperti dua sisi mata
pedang, dimana satu sisinya bahwa ilmu pengetahuan akan memberikan manfaat yang
mendorong kesejahteraan umat manusia dan di sisi lainnya dapat menghancurkan
kehidupan manusia. Sebagai contoh, penggunaan zat-zat kimia dalam kemasan
botol-botol semprot yang terdapat pada alat penyejuk ruangan dan lemari
pendingin menyebabkan lubang pada lapisan ozon ((Nasoetion,
2008). Lebih lanjut, Ketika bom Hiroshima dan Nagasaki
dijatuhkan oleh tentara AS pada 6 dan 9 Agustus 1945, Jepang luluh lantak dan
menyatakan menyerah tanpa syarat kepada sekutu. Tetapi di balik keberhasilan
sekutu, Einstein, penemu Teori Relativitas—sebagai teori konstruk bom
atom—merasa kecewa, karena bom atom telah membawa banyak korban tak bersalah
dan kerusakan alam sedemikian hebatnya (Adisusilo, 1983: 96). Ia menyatakan,
“Mengapa ilmu yang indah ini, yang menghemat kerja dan membikin hidup lebih
mudah, hanya membawa kebahagiaan yang sedikit kepada kita? Dalam peperangan,
ilmu menyebabkan kita saling meracuni dan menjegal. Ilmu yang seharusnya
membebaskan dari pekerjaan yang melelahkan secara spiritual malahan menjadikan
manusia budak-budak mesin…” (Suriasumantri, 1978: 249).
Demikian pula berkembangnya ilmu
pengetahuan dalam bentuk rekayasa genetika, mulai dari kloning tumbuhan, hewan
sampai manusia, memunculkan pro-kontra, tarik-ulur antara kelompok yang menolak
dan kelompok yang mendukungnya, baik dari kalangan ilmuwan maupun agamawan.
Artinya, perkembangan ilmu pengetahuan yang pada mulanya untuk menemukan
pembuktian kebenaran ilmu pengetahuan, dalam kenyataannya bisa memunculkan
dampak negatif yang demikian hebat bagi kehidupan manusia.
Hal tersebut hanya beberapa
contoh dari ratusan bahkan ribuan kasus yang menunjukkan bahwa tanggung jawab
moral penelitian tidak bisa dikembalikan kepada ilmuwan karena berbagai alasan
sebagaimana akan didiskusikan dalam makalah ini. Apabila pengembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi tidak dapat dilepaskan dari tanggung jawab moral, membiarkan
tanggung jawab moral ke tangan peneliti tidak pernah bisa menjamin bahwa
penelitian dan pengembangan teknologi akan selalu menghormati manusia sebagai
makhluk yang bermartabat. Justru sekarang mulai disadari bahwa tidak hanya
peneliti terikat dengan kewajiban moral dalam memastikan bahwa penelitiannya
akan dilaksanakan sesuai tuntutan etika penelitian, “kontrol”etika pun semakin
meliputi wilayah-wilayah yang selama ini dianggap sebagai bukan ranah etika.
Dalam rangka menjawab permasalahan di
atas, makalah ini berusaha mendudukkan ilmu pengetahuan dan perlunya ilmuwan
dan teknologiwan memiliki etika dan moral pada tempat yang semestinya, dengan
mengamati ruang, waktu dan kepentingan munculnya ilmu pengetahuan, sehingga
pada akhirnya, ilmu pengetahuan tidak dikambing-hitamkan ketika muncul
“kesalahan-kesalahan”. Selain itu, pertanggungjawaban ilmuwan terhadap masa
depan umat manusia, semua dampak negative sains dan teknologi terus ditangani
secara bersama-sama bukan saja oleh masyarakat, ilmuwan dunia dan juga oleh
pemerintah semua negara yang didasarkan pada pandangan bahwa manusia di bumi
memiliki tugas untuk mengelola sebaik-baiknya.
2.
Gangguan
kesetimbangan kehidupan di Bumi
Lingkungan memang
tengah mengalami kerusakan, kekhawatiran atas kerusakan tersebut, telah diakui
adalah akibat ketidak seimbangan yang terjadi dan disebabkan intervensi manusia
yang berlebihan (Mangunjaya, 2015). Kerusakan lingkungan ini mendorong para
pemimpin dunia megadakan pertemuan puncak (Konferensi Tingkat Tinggi-KTT) tahun
1992 di Rio de Janeiro, Brasil untuk membicarakan bagaimana nasib planet bumi
dimasa depan. Saat pertemuan puncak Perserikatan BangsaBangsa (PBB) setelah
(KTT Bumi) tahun 1992, maka disepakatilah tiga konvensi penting yang mengikat
berbagai bangsa-bangsa di muka bumi untuk dapat melakukan sesuatu bagi
keselamatan planet ini.
Menurut Nasoetion
(2008), terdapat dua jenis pengaruh yang menjadi sumber malapetaka kehidupan di
Bumi. Pengaruh pertama berasal dari kehidupan yang ada di Bumi dan pengaruh
kedua yang berasal dari luar bumi. Terkait dengan kerusakan yang diakibatkan
dari dalam bumi itu sendiri, Nasoetion (2008) menjelaskan bahwa telah terjadi
pergeseran kesetimbangan dimana daya dukung bumi mengalami penurunan. Salah
satu sumber yang menjadi penurunan daya dukung bumi adalah peningkatan populasi
penduduk di bumi yang didorong oleh kemajuan teknologi di bidang kesehatan
masyarakat. Hal ini mendorong faktor-faktor yang terkait dengan pertambahan
populasi penduduk, misalnya keperluan sandang dan pangan, perluasan jaringan
komunikasi, perluasan kawasan industry, pemukiman. Di satu pihak dibutuhkan
lahan pertanian agar dapat mendukung kebutuhan pangan, tetapi di lain sisi dibutuhkan
infrastruktur untuk kawasan pemukiman, jalan raya dan sarana administrasi.
Sebagai akibat
dari pemenuhan kebutuhan penduduk tersebut, berdampak signifikan terhadap
peningkatan pencemaran lingkungan oleh zat-zat kimia yang terjadi di semua
ekosistem seperti perairan, tanah dan udara. Salah satu contoh adalah, susunan
gas dalam udara yang berubah dan melubangi ozon di homosfer. Adanya lubang ozon
ini dapat mengancam kehidupan manusia karena lolosnya sinar ultra violet yang
menjadi salah satu penyebab penyakit kanker kulit dan katarak mata. Selain itu,
terjadinya peningkatan temperature di bumi yang dapat melelehkan es di kutub
utara maupun selatan yang mendorong terjadinya tenggelamnya beberapa pulau.
Ancaman perubahan
iklim sesungguhnya sangat mengerikan, (Mangunjaya, 2015) menjelaskan bahwa jika
manusia tetap tidak melakukan tindakan apa-apa atau business as usual (BAU) maka akan terjadi peningkatan suhu hingga
4°C, dan hal ini akan mengakibatkan dampak yang mengerikan: kota-kota pesisir
terancam banjir, produksi pangan terancam turun yang tentu saja akan
meningkatkan kasus malnutrisi disebabkan banyak kawasan kering yang akan
semakin kering, dan kawasan basah menjadi lebih basah.
Sementara itu, penguasaan
ilmu pengetahuan dan teknologi mendorong manusia mampu merubah keadaan
hidrologi lingkungannya (Nasoetion, 2008). Sebagai contoh, pembuatan saluran
yang menyalurkan air laut menuju daratan dengan tujuan agar dapat menimbulkan
kelembaban udara di daratan sehingga suasana terasa lebih nyaman. Sementara
itu, pemerintah Uni Sovyet merubah aliran sungai yang semula di Arktika menjadi
di Laut Kaspia dan Aral. Bertambahnya populasi manusia mengakibatkan sebagian hutan dan lahan
produksi pertanian menjadi pusat pemukiman yang dapat merubah siklus hidrologi
sehingga air menjadi langka.
Di samping
perubahan fisik di bumi akan terjadi pula perubahan susunan kimia atmosfer oleh
kegiatan manusia yang menggeser perimbangan daur karbondioksida, daur mineral
dan daur air. Sebagai akibat akan dapat terjadi perubahan cuaca dan iklim dan
perubahan letak permukaan air laut. Sebagian daratan yang tadinya dihuni
manusia akan tenggelam di bawah air, terutama dapat diperkirakan akan terjadi
permukaan tepi pantai di pulau-pulau besar, sedangkan pulau-pulau kecil akan
banyak tenggelam. Bagi sebagian orang di pulau seperti ini malapetaka dirasakan
sebagai kiamat.
3.
Persoalan Etika Ilmu
Pengetahuan
Ilmu pengetahuan berbeda dengan mitos
dalam menjelaskan fenomena alam yang kompleks, termasuk soal bencana alam.
Ketika terjadi gempa bumi,longsor, banjir, erupsi gunung, tsunami, luapan
lumpur Lapindo/Lusi, dan bencana lainnya, para ahli geologi mencoba mencari
penjelasan secara ilmiah berdasarkan fakta-fakta tabiat alam yang
dikontruksikan oleh temuan-temuan ilmiah sebelumnya serta teori-teori yang
dikembangkan secara sistematik (Ta’rifin A., 2010).
Penerapan ilmu pengetahuan dan
teknologi selalu memerlukan pertimbangan-pertimbangan dari dimensi etis dan hal
ini tentu sangat berpengaruh pada pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di
masa depan. Tanggung jawab etis ini menyangkut kegiatan atau penggunaan
ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri. Sehingga seorang ilmuwan dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi harus selalu memperhatikan kodrat
dan martabat manusia, ekosistem dan bertanggung jawab terhadap
kepentingan generasi yang akan datang dan kepentingan umum, karena pada
dasarnya ilmu pengetahuan dan teknologi itu bertujuan untuk pelayanan
eksistensi manusia dan bukan sebaliknya untuk menghancurkan eksistensi
manusia itu sendiri.
Tanggung jawab ini juga termasuk
berbagai hal yang menjadi sebab dan akibat ilmu pengetahuan dan teknologi pada
masa lalu maupun masa yang akan datang. Jadi bahwa perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi akan menghambat atau meningkatkan keberadaan manusia
tergantung pada manusia itu sendiri, karena ilmu pengetahuan dan teknologi
dilakukan oleh manusia dan untuk kepentingan manusia. Kemajuan di bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi memerlukan kedewasaan manusia dalam arti yang sesungguhnya,
yakni kedewasaan untuk menentukan mana yang layak atau tidak layak, mana yang
baik dan mana yang buruk.
Beberapa problem yang berkaitan
dengan ilmu pengetahuan dan teknologi seperti dicontohkan oleh Bakhtiar (2010)
pada perkembangan ilmu bioteknologi, perkembangan yang dicapai sangat
maju seperti rekayasa genetika yang menghkhawatirkan banyak kalangan. Tidak
saja para agamawan dan pemerhati hak-hak asasi manusia tetapi para ahli
bioteknologipun juga semakin khawatir karena jika akibatnya tidak bisa dikendalikan
maka akan terjadi bencana besar bagi kehidupan manusia. Sebagai contoh
adalah rekayasa genetika yang dahulunya bertujuan untuk mengobati penyakit
keturunan seperti diabetes, sekarang rekayasa tidak hanya bertujuan untuk
pengobatan tetapi untuk menciptakan manusia-manusia baru yang sama sekali
berbeda baik secara fisik maupun sifat-sifatnya. Dengan rekayasa tersebut
manusia tidak memiliki hak yang bebas lagi. Meskipun teori ini belum tentu
terwujud dalam waktu singkat tetapi telah menimbulkan persoalan dan
kekhawatiran di kalangan ahli etika dan para agamawan, apalagi jika jatuh pada
penguasa yang lalim pasti dampaknya akan sangat membahayakan karena bisa
menghancurkan eksistensi manusia Maka
disinilah diperlukan kedewasaan dari manusia itu sendiri untuk menentukan mana
yang baik dan buruk bagi kehidupannya.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi akan menghambat ataupun meningkatkan keberadaan manusia tergantung
pada manusianya itu sendiri, karena ilmu pengetahuan dan teknologi dilakukan oleh
manusia dan untuk kepentingan manusia dalam kebudayaannya. Kemajuan di bidang
teknologi memerlukan kedewasaan manusia dalam arti yang sesungguhnya,yaitu
kedewasaan untuk mengerti mana yang layak dan yang tidak layak,yang buruk dan
yang baik (Melsen, 1992: 68).
Berikut ini ditampilkan secara umum sisi
menguntungkan dan sisi merugikan dari hasil rekayasa teknologi manusia (Zubair,
2002: 133-138):
a.
Penggunaan penemuan hukum fisika modern
yang ditimbulkan oleh rekayasa teknologi diikuti dengan jatuhnya bom atom di
Hiroshima, telah membawa banyak korban.
b.
Penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi
serta rekayasanya dalam bidang industri, telah menghasilkan limbah –di
antaranya plastik yang tidak dapat di daur ulang.
c.
Penemuan-penemuan senjata pembunuh
massal baik senjata kimia,biologis, ekologis, psikologis beserta teknologi yang
telah membayangi kepunahan manusia, membuat manusia dihantui oleh ketakutan dan
neurosis yang seharusnya tidak perlu terjadi.
d.
Rekayasa teknik, misalnya telah
menghasilkan pesawat jumbo jet DC-10 yang ternyata telah menewaskan 346 jiwa
karena terdapat cacat pada desain pesawat tersebut.
e.
Rekayasa bioteknik berupa temuan tentang
kode molekuler DNA membimbing manusia ke arah metode pengrusakan bagi
kehidupan,penciptaan, penyakit baru, dan pengendalian pikiran.
f.
Penemuan rekayasa genetika, telah
mengantarkan manusia kepada usaha mengklon mereka, yang pada dasarnya
merendahkan derajat kemanusiaan pada umumnya.
Memang,
rekayasa teknologi sebagai hasil keputusan tindakan manusia, berkembang dalam
kebudayaan manusia dan sekaligus mempengaruhi kebudayaan manusia secara
keseluruhan. Ia mengandung dua sisi, sebagaimana telah disebutkan di atas,
yakni sisi menguntungkan dan sisi yang dapat mengarah ke hal-hal yang
membahayakan manusia. Kenyataan ini menantang manusia lebih lanjut untuk
menggunakan semaksimal mungkin daya akal budinya untuk menyelamatkan kehidupan
manusia serta alam semesta.
Tugas terpenting ilmu pengetahuan dan teknologi adalah
menyediakan bantuan agar manusia dapat sungguh-sungguh mencapai pengertian
tentang martabat dirinya. Ilmu pengetahuan dan teknologi bukan saja sarana
untuk mengembangkan diri manusia, tetapi juga merupakan hasil perkembangan dan
kreatifitas manusia untuk memperkokoh kedudukan serta martabat manusia baik
dalam hubungan sebagai pribadi dengan lingkungannya, maupun sebagai makhluk
yang bertanggung jawab terhadap Allah SWT.
4.
Hubungan antara Ilmu Pengetahuan dan Etika
Etika adalah sebuah ilmu dan bukan
sebuah ajaran yang mengatakan bagaimana seharusnya hidup, tetapi itu adalah
ajaran moral. Ilmu Pengetahuan dan etika sebagai suatu pengetahuan yang
diharapkan dapat meminimalkan dan menghentikan perilaku penyimpangan dan
kejahatan di kalangan masyarakat. Ilmu pengetahuan dan etika diharapkan mampu
mengembangkan kesadaran moral di lingkungan masayarakat sekitar agar dapat
menjadi ilmuwan yang memiliki moral dan akhlak yang baik dan mulia.
Sebagai suatu obyek, etika berkaitan
dengan konsep yang dimiliki oleh individu maupun kelompok untuk menilai apakah
tindakan-tindakan yang telah dilakukan itu salah atau benar, baik atau buruk.
Dengan begitu dalam proses penilaiannya ilmu pengetahuan sangat berguna dalam
memberikan arah atau pedoman dan tujuan masing-masing orang. Ilmu
secara moral harus ditujukan untuk kebaikan umat manusia tanpa merendahkan
martabat seseorang.
Etika memberikan batasan maupun
standar yang mengatur pergaulan manusia di dalam kelompok sosialnya yang
kemudian dirupakan ke dalam aturan tertulis yang secara sistematik sengaja
dibuat berdasarkan prinsip-prinsip moral yang ada dan pada saat diperlukan dapat
di fungsikan sebagai pedoman untuk melakukan tindakan tertentu terhadap segala
macam tindakan yang secara umum dinilai menyimpang dari kode etik yang telah
ditentukan dan disepakati bersama. Ilmu sebagai asas moral atau etika mempunyai
kegunaan khusus yakni kegunaan universal bagi umat manusia dalam meningkatkan
martabat kemanusiaannya (Adib, 2011).
Masalah moral tidak dapat dilepaskan
dengan tekad nanusia untuk menemukan kebenaran. Sebab untuk menemukan dan
mempertahankan kebenaran diperlukan keberanian. Sejarah kemanusiaan telah
mencatat semangat para ilmuwan yang rela mengorbankan nyawanya untuk
mempertahankan apa yang mereka anggap benar. Kemanusiaan tak pernah urung
dihalangi untuk menemukan kebenaran. Tanpa landasan moral maka ilmuwan akan mudah
melakukan pemaksaan intelektual. Penalaran secara rasional yang telah membawa
manusia mencapai harkat kemanusiaannya berganti dengan proses
rasionalisasi yang mendustakan kebenaran.
Maka inilah pentingnya etika dan
moral dalam ilmu pengetahuan yang menyangkut tanggung jawab manusia dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan untuk dimanfaatkan bagi sebesar-besarnya
kemaslahatan manusia itu sendiri. Karena dalam penerapannya ilmu pengetahuan
juga mempunyai akibat positif dan negatif bahkan destruktif maka diperlukan
nilai atau norma untuk mengendalikannya. Di sinilah etika menjadi ketentuan
mutlak yang akan menjadi pengendali bagi pemanfaatan ilmu pengetahuan dan
tekhnologi untuk meningkatkan derajat hidup serta kesejahteraan dan
kebahagiaan manusia.
Tanggung jawab ilmu pengetahuan
menyangkut juga tanggung jawab terhadap hal-hal yang akan dan telah diakibatkan
ilmu pengetahuan di masa lalu, sekarang, maupun akibatnya bagi masa depan
berdasarkan keputusankeputusan bebas manusia dalam kegiatannya. Penemuan-penemuan
baru dalam ilmu pengetahuan terbukti ada yang dapat mengubah sesuatu aturan
baik alam maupun manusia (Zubair, 2002: 56).
Hal ini tentu saja menuntut tanggung
jawab untuk menjaga agar apa yang diwujudkan dalam perubahan tersebut berdampak
positif, baik bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri
maupun bagi perkembangan eksistensi manusia secara utuh. Dalam bahasa Melsen
(1992:72), tanggung jawab dalam ilmu pengetahuan menyangkut problem etis,
karena menyangkut ketegangan-ketegangan antara realitas yang ada dan realitas
yang seharusnya ada.
Pada dasarnya, mengupayakan rumusan
konsep etika dalam ilmu pengetahuan harus sampai kepada rumusan normatif yang
berupa pedoman pengarah konkrit, bagaimana keputusan tindakan manusia di bidang
ilmu pengetahuan harus dilakukan. Moralitas/etika sering dipandang banyak orang
sebagai konsep abstrak yang akan mendapatkan kesulitan apabila harus diterapkan
begitu saja terhadap masalah manusia konkrit. Realitas permasalahan manusia
yang bersifat konkrit-empirik, seolah-olah mempunyai “kekuasaan” untuk memaksa
rumusan moral sebagai konsep abstrak menjabarkan kriteria-kriteria
baik-buruknya sehingga menjadi konsep normatif, secara nyata sesuai dengan
daerah yang ditanganinya.
5.
Pengertian
etika dan moral
Secara etimologis etika berasal dari
kata ethos yang berarti adat, kebiasaan atau susila. Dalam
filsafat etika membicarakan tentang tingkah laku atau perbuatan manusia dalam
kaitan antara baik dan buruk. Baik dan buruk adalah suatu penilaian atas apa
yang bisa dilihat dan dirasakan seperti perbuatan dan tingkah laku. Sedangkan
untuk hal-hal yang menyangkut aspek motif atau watak, sulit dinilai. Secara
garis besar ada dua macam etika yaitu etika deskriptif dan etika normatif.
Etika deskriptif hanya bersifat menggambarkan, melukiskan dan menceritakan
sesuatu seperti apa adanya tanpa memberikan penilaian atau pedoman tentang
bagaimana seharusnya bertindak. Sedangkan etika selain memberikan penilaian
baik dan buruk juga memberikan pedoman mana yang harus diperbuat dan yang tidak
(Bakhtiar, 2010).
Dalam bahasa Yunani, ethika
berati ethikos yang mengandung arti karakter, kebiasaan,
kecenderungan dan sikap yang menagandung analisis konsep-konsep seperti harus,
benar salah, mengandung pencarian watak ke dalam watak moralitas atau
tindakan-tindakan moral atau mengandung pencarian kehidupan yang baik secara
moral. Etika secara lebih detail merupakan ilmu yang membahas tentang moralitas
atau tentang manusia sejauh berkaitan dengan moral (Jujun, 2001).
Etika memang tidak masuk dalam kawasan
ilmu pengetahuan yang bersifat otonom, tetapi tidak dapat disangkal ia berperan
dalam perbincangan ilmu pengetahuan. Tanggung jawab etis merupakan hal yang
menyangkut kegiatan maupun penggunaan ilmu pengetahuan. Dalam kaitan hal ini terjadi
keharusan untuk memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, menjaga
kesimbangan ekosistem, bertanggungjawab pada kepentingan umum, kepentingan pada
generasi mendatang, dan bersifat universal. Karena pada dasarnya ilmu
pengetahuan adalah untuk mengembangkan dan memperkokoh eksistensi manusia bukan
untuk menghancurkan eksistensi manusia (Zubair,2002: 49).
Moral berasal dari bahasa
Latin moralis (kata dasar mos,
moris) yang berarti adat istiadat, kebiasaan, cara, dan tingkah laku. Moral
berarti sesuatu yang menyangkut prinsip benar salah, dan salah satu dari
suatu perilaku yang menjadi standar perilaku manusia. Bila dijabarkan lebih
lanjut moral mengandung empat pengertian: i)baik-buruk, benar-salah dalam
aktifitas manusia, ii) tindakan yang adil dan wajar, iii) kapasitas untuk
diarahkan pada kesadaran benar-salah, dan kepastian untuk mengarahkan orang
lain agar sesuai dengan kaidah tingkah laku yang dinilai benar-salah dan iv)
Sikap seseorang dalam hubungannya dengan orang lain (Kebung, 2011).
Moral
terkait dengan kegiatan manusia dari sisi baik/buruk, benar/salah dan
tepat/tidak tepat. Gazalba (1981), menyatakan, bahwa moral dalam bahasa
Indonesia disebut susila. Kata susila memiliki arti antara lain; adat-istiadat
yang baik; sopan santun; kesopanan; keadaban; pengetahuan tentang adab; dan
ilmu adab (Anonim, 1994). Selanjutnya Gazalba (1981) menyatakan bahwa moral itu
sesuai dengan ide-ide yang umum diterima tentang tindakan manusia, mana yang
baik dan wajar. Dia menyimpulkan bahwa moral itu suatu tindakan yang sesuai
dengan ukuran tindakan yang umum diterima oleh kesatuan sosial atau lingkungan
tertentu.
Kata
moral selalu mengacu kepada baik buruknya manusia sebagai manusia. Bidang moral
adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia.
Norma-norma moral adalah tolok ukur untuk menentukan betul-salahnya sikap dan
tindakan manusia dilihat dari segi baik-buruknya sebagai manusia dan bukan
sebagai pelaku peran tertentu dan terbatas. Jadi menurutnya yang menjadi
permasalahan bidang moral adalah apakah manusia ini baik atau buruk (Suseno,
1987).
6.
Sikap llmiah dan tanggung jawab Ilmuwan
Ilmu adalah suatu cara berpikir
tertentu mengenai suatu obyek dengan pendekatan yang khas sehingga menghasilkan
kesimpulan berupa pengetahuan ilmiah, dalam arti bahwa sisten dan struktur ilmu
itu dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka. Pengetahuan ilmiah adalah
pengetahuan yang bersifat kritis, rasional dan logis, obyektif dan terbuka.
Namun yang juga penting adalah apakah pengembangan pengetahuan ilmiah itu
membawa dampak positif`dan baik bagi manusia atau sebaliknya justru
membawa keburukan. Oleh karena itu penting sekali sikap ilmiah yang harus
dimiliki oleh seorang ilmuwan. Dan di sini letak moralitas dari seorang
ilmuwandalam penembangan ilmu, baik itu menyangkut tanggungjawabnya terhadap
tata alamiah, terhadap manusia maupun terhadap Allah SWT.
Sikap ilmiah yang sesuai bagi
seorang ilmuwan antara lain (Sya'roni, 2014) :
a.
Tidak adanya rasa pamrih yaitu suatu
sikap yang diarahkan untuk mencapai pengetahuan ilmiah yang obyektif
b.
Bersikap selektif yang menyangkut
cara mengambil kesimpulan yang beragam, macam-macam metodologi dan lain-lain.
c.
Selalu tidak merasa puas dengan
hasil penelitiannya sehingga selalu ada dorongan untuk melakukan riset dalam
hidupnya.
d.
Memiliki sikap etis untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan demi kebahagiaan manusia dan untuk pembangunan
bangsa dan negara
Ilmu pengetahuan menghasilkan
teknologi yang diterapkan pada masyarakat. Ilmu pengetahuan dan teknologi dalam
penerapannya dapat menjadi berkah dan penyelamat bagi manusia, tetapi juga bisa
menjadi bencana bagi manusia. Disinilah pemanfaatan ilmu pengetahuan dan
teknologi perlu diperhatikan dengan sebaik-baiknya.
Proses transformasi ilmu pengetahuan
yang dimanfaatkan oleh masyarakat tidak terlepas dari ilmuwan. Seorang ilmuwan
akan dihadapkan pada kepentingan-kepentingan pribadi ataukah kepentingan masyarakat
akan membawa pada persoalan etika keilmuan serta masalah bebas nilai. Fungsi
ilmuwan tidak berhenti pada penelaah dan keilmuan secara individual namun juga
ikut bertanggungjawab agar produk keilmuannya sampai dan dapat dimanfaatkan
oleh masyarakat.
Ilmu merupakan hasil karya
perseorangan yang dikomunikasikan dan dikaji secara terbuka oleh
masyarakat. Sekiranya hasil karya itu memenuhi syarat-syarat keilmuan
maka dia diterima sebagai bagian dari kumpulan ilmu pengetahuan dan digunakan
oleh masyarakat tersebut. Dengan perkataan lain, penciptaan ilmu bersifat
individual namun komunikasi dan penggunaan ilmu adalah bersifat sosial. Peranan
individu inilah yang bersifat dominan dalam kemajuan ilmu yang dapat mengubah
wajah peradaban. Kreatifitas individu yang didukung oleh sistem komunikasi
sosial yang bersifat terbuka menjadi proses pengembangan ilmu berjalan secara
efektif. Maka jelaslah bahwa seorang ilmuwan memiliki tanggung jawab
sosial yang tinggi. Bukan saja karena dia adalah warga masyarakat yang
kepentingannya terlibat secara langsung di masyarakat, namun yang lebih penting
adalah adalah karena dia mempunyai fungsi tertentu dalam kelangsungan hidup
bermasyarakat (Suseno, 1987).
Implikasi penting dari tanggung
jawab sosial seorang ilmuwan adalah bahwa setiap pencarian dan penemuan
kebenaran secara ilmiah harus disertai dengan landasan etis yang utuh. Proses
pencarian dan penemuan kebenaran ilmiah yang dilandasi etika, merupakan
kategori moral yang menjadi dasar sikap etis seorang ilmuwan. Ilmuwan bukan
saja berfungsi sebagai penganalisis materi tersebut, tetapi juga harus memiliki
moral yang baik.
Kaum ilmuwan tidak boleh menganggap
ilmu dan teknologi adalah segala-galanya, masih terdapat banyak lagi
sendi-sendi lain yang menyangga peradaban manusia dengan baik. Demikian juga
masih terdapat kebenaran-kebenaran lain disamping kebenaran keilmuan yang
melengkapi harkat kemanusiaan yang hakiki. Jika kaum ilmuwan konsekuen dengan
pandangan hidupnya baik secara moral maupun intelektual maka salah satu penyangga
masyarakat modern ini, yaitu ilmu pengetahuan akan berdiri secara kokoh.
Di bidang etika tanggung jawab
ilmuwan bukan lagi hanya memberikan informasi namun juga memberikan contoh
bagaimana bersifat obyektif, terbuka, menerima kritikan, menerima pendapat
orang lain, kukuh pada pendirian yang dianggap benar dan berani mengakui kesalahan.
Tugas seorang ilmuwan harus menjelaskan hasil penelitiannya sejernih mungkin
berdasarkan rasionalitas dan metodologis yang tepat. Secara moral seorang
ilmuwan tidak akan membiarkan hasil penelitiannya digunakan untuk tujuan yang
melanggar asas-asas kemanusian (Susanto, 2011).
Pengetahuan merupakan sarana yang
dapat digunakan untuk kemaslahatan manusia dan dapat pula disalahgunakan.
Sehingga tanggung jawab ilmuwan sangatlah besar, tanggung jawab akademis dan
tanggung jawab moral. Jika ilmuwan telah dapat memenuhi tanggung jawab
sosialnya, maka ilmu penetahuan itu akan berkembang dengan pesat, ilmu
pengetahuan itu akan dapat memberikan manfaat besar bagi kehidupan manusia, dan
ilmu pengetahuan itu tidak akan menimbulkan kerusakan dan konflik di masyarakat.
Menurut Forge (2008), ada tiga
jenis tanggung jawab peneliti yang harus diperhatikan dalam setiap penelitian,
yaitu:
a.
Pertama, peneliti yang etis memikul tanggung jawab sosial karena
menyadari bahwa seluruh karya yang dia hasilkan juga memiliki konsekuensi di
luar institusi dan komunitas ilmiah. Dalam konteks ini, seorang ilmuwan
menyadari bahwa penelitian dan publikasi yang dia hasilkan memiliki potensi
mengubah masyarakat baik secara langsung ataupun tidak. Dapat dikatakan bahwa
setiap peneliti harus mempertimbangkan dampak sosial dalam setiap penelitiannya
bahkan sejak tahap merancang sebuah penelitian. Meskipun demikian, tanggung
jawab sosial seorang ilmuwan sangat dituntut terutama ketika berhadapan dengan
berbagai konsekuensi negatif yang ditimbulkan oleh sebuah penelitian dan
pengembangan ilmu pengetahuan (Barnaby,2000). Semakin sebuah penelitian
memiliki dampak buruk bagi kehidupan masyarakat, semakin berat beban moral dan
tanggung jawab sosial yang harus dipikul.
b.
Kedua,
posisi penulis mengenai pentingnya melampaui standar dan kendali komisi etika
penelitian sebenarnya berhubungan dengan tangung jawab jenis kedua yang harus
diperhatikan setiap peneliti, yakni tanggung jawab moral. Penulis mengajukan
hipotesa bahwa penelitian dan aplikasi ilmu pengetahuan yang merusak dan
merugikan manusia dan alam seharusnya dapat diatasi sejak dini jika saja setiap
peneliti mentaati prinsip-prinsip moral penelitian yang dipelajari dan
diinternalisasinya selama pendidikan formal.
c.
Ketiga,
setiap peneliti yang etis juga memikul tanggung jawab legal. Jenis tanggung
jawab ini biasanya berhubungan dengan berbagai pelanggaran atau tindakan salah
(misconduct) dan ketidaktaatan pada prosedur penelitian. Dari
perspektif komisi etika penelitian, seorang peneliti yang memiliki tanggung
jawab legal harus mampu menjawab pertanyaan seputar apakah penelitian yang
dilakukan itu sudah sesuai dengan standar-standar ilmiah penelitian? Apakah ada
lembaga atau komunitas ilmiah yang telah menjamin keabsahan prosedur tersebut?
Apakah subjek penelitian telah memahami dengan baik keterlibatannya dalam
penelitian sebelum menandatangani informed consent? Apa konsekuensi legal yang timbul jika penelitian
diteruskan atau bahkan penelitian gagal mencapai hasil sebagaimana diharapkan?
Apakah penelitian yang dilakukan itu bertentangan dengan suatu undang-undang
tertentu yang berlaku di negara tersebut? Jika terjadi pelanggaran dalam sebuah
penelitian, sejauh mana peneliti dapat dimintai tanggung jawab? Apakah
institusi tempat peneliti bernaung juga akan ikut bertanggung jawab atas
kegagalan sebuah penelitian?
Tanggung
jawab ilmuwan tentu lebih banyak berkaitan dengan aksiologi, bukan dalam
epistemologi semata. Ada dua kutub berkenaan dengan aksiologi, pertama yang
berpandangan bahwa seorang ilmuwan harus netral, tidak ikut bertanggung
jawab.Ia hanya dituntut dalam epistemologi, tetapi dari segi aksiologi berlepas
diri. Kedua, bahwa seorang ilmuwan dibebani tanggung jawab hingga aspek
aksiologi (Buseri, 2014).
Tanggung
jawab seorang ilmuwan menyangkut tanggung jawab moral segi profesional dan segi
moral. Atau dimaksudkan dengan tanggung jawab segi profesional adalah dalam
kaitan epistemologi, mencakup asas kebenaran, kejujuran, tanpa kepentingan
langsung, menyandarkan kepada kekuatan argumentasi, rasional, objektif, kritis,
terbuka, pragmatis, dan netral dari nilai-nilai yang bersifat dogmatis dalam
menafsirkan hakikat realitas. Sedangkan yang dimaksud tanggung jawab moral
adalah dalam hubungan membentuk tanggung jawab sosial.yakni pada dasarnya ilmu
pengetahuan digunakan untukkemaslahatan manusia. Ilmu digunakan sebagai sarana
untuk meningkatkan taraf hidup manusia dengan memperhatikan kodrat manusia,
martabat manusia, dan kelestarian lingkungan alam (Jujun, 2001).
Untuk
mengatasi berbagai problema ilmu pengetahuan, van Melsen (1992) menawarkan
konsep kewajiban etis dan keinsyafan etis.Kewajiban etis ialah selalu menyadari
adanya ketegangan antara yang seharusnya ada dan yang pada kenyataannya ada.
Sedangkan keinsyafan etismenyangkut juga ketegangan antara yang sehrusnya ada
dan yang pada kenyataannya ada tetapi dalam suatu kerangka yang lebih luas,
sebab tidak menyangkut apa yang seharusnya ada begitu saja melainkan apa yang
sebetulnya seharusnya ada seandainya kemungkinan-kemungkinan realitas lain
daripada keadaan yang nyata. Secara singkat
secara etis, manusia–ilmuwan-dituntut melalui ilmu pengetahuan untuk
menghantarkan kepada tujuan hakiki yaitu memajukan keselamatan manusia dan
mewujudkan manusia sebagaimana seharusnya ada. Ke arah inilah harapan dunia
dewasa ini karena kalau tidak maka kehancuran manusia di ambang pintu.
7.
Kesimpulan
Ilmu
pengetahuan atau pengetahuan ilmiah manusia yang bertujuan untuk menemukan
kebenaran tak terlepas dengan manusia (ilmuwan). Ditinjau dari segi fungsinya,
ilmu berfungsi untuk menerangkan dan meramalkan/mengontrol memahami dan
menafsirkan gejala alam- termasuk manusia - agar manusia dapat mengambil
manfaat daripadanya. Dalam proses sejarah, ilmu pengetahuan telah berhasil
membebaskan manusia dari berbagai problema kehidupan. Manusia bebas dari
kebodohan, kerutinan takhayul dan prasangka sehingga memberikan kemungkinan
untuk lebih kreatif. Tetapi ilmu pengetahuan dalam perkembangan mutakhir telah
menjadi bomerang bahkan mengikat manusia. Perkembangan teknologi yang didasari
oleh kebutuhan dalam membuat kehidupan manusia menjadi lebih nyaman mendorong
terjadinya ketidaksetimbangan kehidupan di bumi. Ilmu dimasa depan tergantung
kepada para ilmuwan, oleh karena itu ilmuwan sewaktu berkifrah dalam penelitian
harus benar-benar menghayati epistimologi dan aksiologi ilmu. Demikian pula
para ilmuwan harus menghayati variabel negatif ilmu untuk dijadikan input
positif, demikian pula variabel positif ilmuwan. Keduanya harus dijadikan input
positif dalam menyusun strategi penelitian untuk sampai kepada tujuan akhir
ilmu pengetahuan yakni menghantar manusia kepada keselamatan, kesejahteraan dan
kebahagiaan.
Daftar
Pustaka
Adib M.,
2011, Filsafat Ilmu ( Ontologi, Epistimologi, Aksiologi dan Logika Ilmu
Pngetahuan), Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Adisusilo,
Soetarjo,1983, Problematika Perkembangan Ilmu, Yogyakarta:Kanisius.
Anonim, 1994, Tim Penyusun Kamus Depdikbud, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Cet. ke-3, hal., 980., Jakarta: Balai Pustaka
Bakhtiar A.,
2010, Filsafat Ilmu, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Barnaby,
W. (2000). “Science, technology, and social responsibility”, Interdisciplinary
Science reviews, 25 (1):20–23.
Cate, O.,
Brewster, D., Cruess, R., Calman, K., Rogers, W., Supe, A., & Gruppen, L.
(2013). Research fraud and its combat: what can a journal do? Medical education, 47(7), 638-640.
Forge, J. (2008). The responsible scientist: A
philosophical inquiry. University of Pittsburgh Pre.
Gazalba S., 1981, Sistematika Filsafat IV, Jakarta:
Bulan Bintang, cet, ke-3, h. 512.
Hansson,
S. O. (2011). Do we need a special ethics for research?. Science and engineering ethics, 17(1), 21-29.
Jujun S. 2001. Ilmu Dalam Perspektif Sebuah
Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Buseri K., 2014, Ilmu,
Ilmuwan, dan Etika Ilmiah, AL-BANJARI, Vol. 13, No.2, hlm. 225-242,
Kebung K.,
2011 Filsafat Ilmu Pengetahuan, Pustakaraya, Jakarta
Susanto A., 2011, Filsafat Ilmu:Suatu Kajian dalam
Dimensi Ontologis, Epistimologisdan Aksiologis,Jakarta: Bumi Aksara, h.172.
Suseno F.M., 1987, Etika Dasar Masalah-Masalah Pokok
Filsafat Moral, h. 18-20, Yogyakarta: Kanisius.
Mangunjaya F., 2015, Kerusakan Lingkungan:
Epistemologi Sains Islam dan Tanggung Jawab Manusia, TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR
1.
Nasoetion A.H., 2008, Pengantar ke Filsafat Sains,
Cetakan Keempat, Pustaka Litera AntarNusa, Bogor.
Shihab. M.Quraish. 2004. Wawasan Al-Qur’an Tafsir
Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan
Umat.
Mizan.
Bandung.
Service RF., (2002). Scientific
misconduct. Bell Labs fires star physicist found guilty of forging data.
Science, Oct. 298(5591),30-1.
Suriasumantri,
Jujun S, Ilmu dalam Perspektif Moral, Sosial, dan Politik. Jakarta: Gramedia, 1987.
Sya'roni M., 2014, ETIKA KEILMUAN: Sebuah Kajian
Filsafat Ilmu, TEOLOGIA, VOLUME 25, NOMOR 1.
Ta’rifin A., 2010, TANGGUNG JAWAB ILMU
PENGETAHUAN: Pergulatan Antara Kaum Pragmatis dan Puritan-Elitis, RELIGIA Vol. 13, No. 2, Hlm. 255-268
van Melsen, A.
G. M. 1992, Ilmu Pengetahuan dan Tanggung Jawab Kita Terj. Dr. K. Bertens,
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Zubeir, Ahmad
Charis, 2002, Kajian Filsafat Ilmu, Dimensi Etik dan Asketik Ilmu
Pengetahuan Manusia, Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam.
No comments:
Post a Comment