1.
Latar belakang
Politisasi lingkungan telah mendorong kerusakan lingkungan
dan marjinalisasi masyarakat yang diakibatkan oleh relasi kekuasaan yang tidak
setara antar aktor. Salah satu permasalahan kerusakan lingkungan yang terjadi
di hampir semua wilayah di Indonesia adalah disebabkan oleh sampah. Permasalahan
sampah bukan lagi sekedar masalah kebersihan dan lingkungan saja, tetapi sudah
menjadi masalah sosial yang berpotensi menimbulkan konflik. Lebih parah lagi,
hampir semua kota di Indonesia baik kota besar maupun kota kecil, belum
memiliki sistem penanganan sampah yang baik. Umumnya kota di Indonesia memiliki
manajemen sampah yang sama yaitu metode kumpul – angkut – buang Sebuah metode
manajemen persampahan klasik yang akhirnya berubah menjadi praktek pembuangan
sampah secara sembarangan tanpa mengikuti ketentuan teknis di lokasi yang sudah
ditentukan.
Pengelolaan sampah saat ini berdasarkan
UU No 18 Tahun 2008 dan PP No 81 Tahun 2012 di lakukan dengan dua fokus utama
yakni pengurangan dan penanganan sampah. Pengurangan sampah seperti yang di
jelaskan di dalam UU maupun PP yang telah disebutkan dilakukan mulai dari
sumber sampah sampai pada pengelolaan akhir. Dimana pengurangan sampah
diwujudkan dengan keterlibatan aktif masyarakat maupun pihak pengelola sampah.
Pengurangan sampah sendiri di lakukan dengan proses 3R (Reuse, Recycle dan Reduce). Hal ini karena sampai saat ini proses
3R dianggap yang paling sesuai dalam mengurangi sampah di kota maupun wilayah
karena mampu mengurangi timbulan sampah sebesar 15-20 %. Sedangkan untuk
penanganan sampah merupakan hal teknis dalam mengelolah sampah mulai dari
pewadahan, pengumpulan, pengangkutan dan sampai pada pemrosesan akhir. Kedua
fokus pengelolaan sampah baik itu pengurangan maupun penanganan sampah
merupakan amanat dari UU pengelolaan sampah di Indonesia sehingga harus untuk
di tindaklanjuti dengan perda pengelolaan sampah untuk setiap daerah dan juga
digunakan sebagai metode dalam pengelolaan sampah setiap kota, wilayah maupun
kawasan.
Keberadaan sampah dalam jumlah yang
banyak jika tidak dikelola secara baik dan benar, maka akan menimbulkan
gangguan dan dampak terhadap lingkungan, baik dampak terhadap komponen fisik
kimia (kualitas air dan udara), biologi, sosial ekonomi, budaya dan kesehatan
lingkungan. Dampak operasional TPA terhadap lingkungan akan memicu terjadinya
konflik sosial antar komponen masyarakat. Sebagai contoh terjadinya konflik yang
terjadi di TPA Benowo Surabaya yang melibatkan pihak-pihak pemulung, pengepul
sampah, warga desa Benowo dan Pemerintah Kota Surabaya (Harianto,
2016). Konflik
yang terjadi di TPA Benowo menimbulkan kekerasan namun dapat diselesaikan
dengan baik. Lebih lanjut, permasalahan terkait sampah yang juga mengakibatkan
konflik antara pemerintah provinsi DKI Jakarta dan pemerintah Kabupaten Bekasi.
Beberapa waktu yang lalu
sempat terjadi gangguan pengangkutan sampah dari Jakarta menuju TPA
Bantargebang yang berdampak pada pada menumpuknya sampah di Jakarta (Kompas,
Kamis, 5 November 2015). Krisis yang sama besar skalanya terjadi 14 tahun lalu
di Jakarta. Saat itu, 10 Desember 2001, Pemda Jakarta tidak diizinkan membuang
sampah di TPA Bantargebang, sehingga sampah mengepung Jakarta (Rahman, 2015).
Berdasarkan hal tersebut, makalah ini bertujuan untuk menganalisa potensi
penyelesaian konflik pengelolaan sampah dari sudut pandang ekologi politik.
2. Ekologi
Politik
Konflik
pengelolaan sumberdaya alam seringkali tidak dapat dihindari yang disebabkan
oleh nilai-nilai dan/atau kepentingan yang bertentangan dalam pemanfaatannya
(Gray 2003). Konflik tersebut merupakan konflik sosial dengan atau tanpa
kekerasan yang berhubungan dengan perjuangan untuk mendapatkan akses dan hasil
dari pemanfaatannya (Turner 2004). Konflik kepentingan menjadi gambaran umum
dari setiap sistem pemanfaatan sumberdaya, sehingga pemanfaatan yang partisipatif
dan adil menjadi prasyarat utama dalam pengelolaan sumberdaya yang
berkelanjutan (FAO 2000). Studi oleh Bank Dunia menunjukkan bahwa negara-negara
yang paling mungkin menderita konflik adalah negara-negara yang sangat
tergantung dengan sumberdaya alam (Bannon dan Collier 2003). Jika
konflik-konflik ini tidak ditangani, maka akan dapat menyebabkan degradasi
lingkungan, mengganggu pembangunan, dan merusak tatanan kehidupan (FAO 2000).
Escobar
(2006) berpendapat bahwa kerangka politik ekologi (political ecology)
dapat diterapkan dari hubungan antara perbedaan dan kesamaan akses dalam
konflik distribusi ekonomi, ekologi, dan budaya. Hal ini didukung oleh Turner
(2004) yang menyatakan bahwa konflik sumberdaya telah menjadi focus analisis
dan metodologi utama dari politik ekologi karena konflik dapat menjelaskan
kepentingan, kekuatan, dan kerentanan yang berbeda dari kelompok sosial yang
berbeda, yang didasari oleh keprihatinan terhadap keadilan social dalam
pemanfaatannya. Selain itu, menurut Neumann (1998), politik ekologi telah berhasil
digunakan untuk melihat konflik sebagai momen penting, ketika banyak mengungkap
struktur yang mendasari kekuasaan dan kepentingan tersebut.
Politik
ekologi dimulai sebagai kerangka kerja untuk memahami keterkaitan yang kompleks
antara orang-orang lokal, politik ekonomi nasional, dan global serta ekosistem
(Blaikie dan Brookfield 1987). Konsep ini telah diadaptasi dalam berbagai cara,
seperti politik ekologi dunia ketiga (Bryant 1992) atau politik ekologi feminis
(Rocheleau et al. 1996). Bryant dan Bailey (1997) menjelaskan bahwa
politik ekologi menjadi bidang kajian yang mempelajari aspek-aspek social politik
pengelolaan lingkungan, dengan asumsi pokok bahwa perubahan lingkungan tidak
bersifat teknis, tetapi merupakan suatu bentuk politisasi lingkungan yang
melibatkan aktor-aktor yang berkepentingan baik pada tingkat lokal, regional,
maupun global.
Studi
yang dilakukan oleh Robbins (2004) mengenai istilah politik ekologi menunjukkan
perbedaan penting dalam penekanannya; dimana beberapa definisi menekankan pada
politik ekonomi (political economy), sementara yang lainnya menitikberatkan
pada kelembagaan politik yang lebih formal, beberapa mengidentifikasi perubahan
lingkungan sebagai hal yang paling penting, dan ada yang menekankan narasi
tentang perubahan tersebut. Banyaknya definisi secara bersama-sama menunjukkan
bahwa politik ekologi merupakan alternatif eksplisit terhadap
"apolitik" ekologi. Dengan demikian, penelitian politik ekologi di lapangan
umumnya memberikan penjelasan mengenai degradasi lahan, konflik sumberdaya
lokal, atau kegagalan konservasi negara sebagai suatu alternative terhadap
perspektif apolitik ekologi. Pendekatan yang paling menonjol dari pendekatan
apolitik adalah pandangan yang cenderung mendominasi dalam pembicaraan global
seputar lingkungan, yaitu kelangkaan sumberdaya dan modernisasi. Pandangan ini
cenderung untuk mengabaikan pengaruh signifikan dari kekuatan politik ekonomi
dan mengabaikan sebagian besar masalah-masalah fundamental dalam ekologi kontemporer.
Pandangan tersebut juga mengabaikan klaim terhadap obyektivitas yang tidak
berat sebelah, yang merupakan politik secara implisit. Pandangan politik
ekologi merupakan kritik terhadap pandangan dominan di atas dan mencari untuk
mengekspos kekurangan dalam pendekatan tersebut terhadap lingkungan oleh
perusahaan, negara, dan otoritas internasional, khususnya dari sudut pandang
masyarakat lokal, kelompok marjinal, dan populasi yang rentan. Politik ekologi
berusaha untuk mendenaturalisasi kondisi-kondisi sosial dan lingkungan, yang
menunjukkan hasil-hasil yang bergantung pada kekuasaan dan tidak dapat
dihindarkan.
Pendapat
Robbins (2004) di atas mendukung pendapat Bryant dan Bailey (1997) yang melihat
permasalahan lingkungan yang dihadapi oleh dunia ketiga bukan merupakan
refleksi dari kegagalan kebijakan pasar, tetapi merupakan manifestasi dari
kekuatan politik dan ekonomi yang lebih luas yang terkait dengan penyebarluasan
kapitalisme, terutama sejak abad ke-19 (penebangan hutan, pertambangan, industrialisasi,
urbanisasi, dan lain-lain). Adanya campur tangan negara dalam aktivitas
perekonomian mendorong ke arah kehancuran lingkungan. Pada beberapa kasus,
campur tangan ini sejalan dengan ekspansi kapitalis, tetapi pada beberapa
kelembagaan pemerintah, permasalahan ini mencerminkan adanya kepentingan
penguasa dalam perebutan kekuasaan, keamanan nasional, ataupun pengayaan diri
sendiri. Kompleksnya permasalahan lingkungan dunia ketiga membutuhkan tidak
sekedar kebijakan yang bersifat teknis, melainkan juga perubahan mendasar dalam
proses politik ekonomi di tingkat lokal, regional, dan global.
Bryant
(1992) menyatakan bahwa peneliti politik ekologi mempunyai premis bahwa perubahan lingkungan bukanlah
proses manajemen teknis; sebaliknya perubahan lingkungan tersebut memiliki
sumber politik, kondisi, dan konsekuensi yang berbenturan dengan kesenjangan
sosial ekonomi dan proses politik yang ada. Reduksionisme ekonomi harus
dihindari ketika menggunakan interpretasi ini, karena reduksionisme tersebut
menyederhanakan realitas dan mengurangi akurasi dari analisis yang dapat
melemahkan penelitian politik ekologi dunia ketiga dalam tiga cara, yaitu: (1)
reduksionisme ekonomi gagal mengaitkan makna yang menjelaskan faktor ekologi,
(2) reduksionisme ekonomi mengabaikan sumber-sumber lain perubahan lingkungan,
dan (3) reduksionisme ekonomi juga tidak mempertimbangkan secara serius
kekuatan petani dan kelompok-kelompok lainnya yang kurang beruntung secara
sosial. Politik ekologi dunia ketiga harus dipahami secara inklusif yang
didasarkan pada pandangan bahwa politik ekologi dunia ketiga tersebut harus
peka terhadap interaksi beragam kekuatan sosial politik dan relasi
kekuatan-kekuatan ini terhadap perubahan lingkungan. Sejalan dengan pandangan
tersebut, De Koning (2008) berpendapat bahwa penekanan yang diberikan oleh
politik ekologi adalah hubungan antara akses sumberdaya alam dan alokasi,
distribusi kekuasaan dalam mediasi akses, dan alokasi serta lembaga yang
memegang kekuasaan. Oleh karena itu, Schubert (2005) menyatakan bahwa fokus
peneliti politik ekologi adalah pada struktur dan konstruksi sosial yang
membentuk akses dan kontrol atas sumberdaya alam tersebut dan tidak hanya pada
konflik kekerasan saja, karena mereka cenderung melihat konflik dan konflik
kepentingan melekat pada hubungan sosial serta interaksi manusia dengan alam.
Bryant
dan Bailey (1997) menjelaskan bahwa politik ekologi menggunakan asumsi-asumsi
untuk menafsirkan politisasi lingkungan dunia ketiga dan fokusnya bukan pada
deskripsi dari perubahan lingkungan fisik sendiri, tetapi pada cara dimana
perubahan tersebut berhubungan dengan aktivitas manusia. Asumsi-asumsi tersebut
adalah: (1) peneliti politik ekologi menerima gagasan bahwa biaya dan manfaat
yang terkait dengan perubahan lingkungan sebagian besar didistribusikan di
antara aktor secara tidak merata, (2) distribusi yang tidak merata dari biaya
dan manfaat lingkungan tersebut memperkuat atau mengurangi kesenjangan sosial
dan ekonomi yang ada, dan (3) dampak sosial dan ekonomi yang berbeda dari
perubahan lingkungan juga memiliki implikasi politik dari segi perubahan
kekuasaan aktor-aktor dalam hubungannya dengan aktor-aktor lainnya.
Politisasi
lingkungan yang terjadi di dunia ketiga mencakup tiga dimensi, yaitu: sehari-hari,
episodik, dan sistemik. Dimensi ini berkaitan dengan perubahan fisik, tingkat
dampak, sifat dampak terhadap manusia, respon politik, dan konsep-konsep kunci
(Tabel 1). Sebagian besar ahli politik ekologi belum secara sistematis
mengeksplorasi isu-isu dari dimensi yang terakhir dan lebih memusatkan
perhatian mereka pada dimensi pertama dan kedua dari politisasi lingkungan.
Tabel 1
Dimensi politisasi lingkungan
Dimensi
|
Perubahan
fisik
|
Tingkat
dampak
|
Sifat dampak
terhadap
manusia
|
Respon
politik
|
Konsep
kunci
|
Sehari-hari
|
Erosi tanah,
deforestasi,
salinisasi
|
Bertahap dan
bahkan
mungkin tidak
dirasakan untuk
waktu yang
lama
|
Kumulatif dan
biasanya sangat
tidak setara; orang
miskin yang
paling
menderita
|
Resistensi/
protes
masyarakat
terkena
dampak
|
Marjinalisasi
|
Episodik
|
Banjir, badai,
kekeringan
|
Sering tapi
kadang-kadang
muncul secara
tiba-tiba
|
Mungkin
memiliki dampak
umum tetapi
orang miskin
adalah yang
paling menderita
|
Bantuan
“bencana”
|
Kerentanan
|
Sistemik
|
Radiasi nuklir,
konsentrasi
pestisida,
spesies
termodifikasi
secara
biologi
|
Bertahap dan
belum tentu
dirasakan tetapi
juga berpotensi
secara
mendadak
|
Cenderung
mempunyai
dampak
umum
|
Ketidakpercayaan
terhadap
pakar/ahli
|
Resiko
|
Sumber: Bryant dan Bailey (1997)
Sejalan
dengan pernyataan Bryant dan Bailey (1997) di atas, bidang politik ekologi
sangat beragam sehubungan dengan substantif, epistemologi fokus, dan metode (Stott
dan Sullivan, 2000). Selanjutnya penelitian politik ekologi yang beragam di
banyak lokasi, oleh Robbins (2004), dibagi ke dalam empat pertanyaan besar,
tema, atau narasi penelitian. Sebagai contoh, terjadinya konflik lingkungan
ini terjadinya pada kelompok masyarakat tertentu yang ditunjukkan pada beberapa
bagian yang lebih luas dari perjuangan gender, kelas, ras dan sebaliknya.
Perbedaan ini mencerminkan
perkembangan sejarah bidang tersebut, dimana penelitian yang menghubungkan
perubahan lingkungan terhadap marjinalisasi politik dan ekonomi muncul pertama
kali pada 1970-an dan 1980-an sebagai upaya untuk menerapkan teori
ketergantungan terhadap periode krisis lingkungan (Robbins 2004).
Peneliti
politik ekologi memberikan suatu perspektif politik ekonomi secara luas dengan
mengadopsi berbagai pendekatan dalam menerapkan perspektif tersebut untuk
investigasi interaksi manusia-lingkungan di dunia ketiga (Bryant dan Bailey, 1997).
Pendekatan yang berbeda tersebut tidak saling eksklusif karena para peneliti
sering menggabungkan atau menggunakan pendekatan yang berbeda. Hal ini
mencerminkan prioritas penelitian yang berbeda di lapangan, yaitu: (1) pendekatan
yang mengarahkan penelitian dan penjelasan dalam politik ekologi dunia ketiga
seputar masalah lingkungan tertentu atau serangkaian masalah seperti erosi
tanah, deforestasi hutan tropis, pencemaran air, atau degradasi lahan, (2)
pendekatan yang memfokuskan pada suatu konsep yang dianggap memiliki kaitan
penting terhadap pertanyaan politik ekologi, (3) pendekatan yang memeriksa
hubungan masalah-masalah politik dan ekologi dalam konteks suatu wilayah
geografis tertentu, (4) pendekatan yang mengeksplorasi pertanyaan-pertanyaan
politik ekologi dalam menjelaskan karakteristik sosial ekonomi seperti kelas,
etnis, atau gender, dan (5) pendekatan yang menekankan kebutuhan yang terfokus
pada kepentingan, karakteristik, dan tindakan dari berbagai tipe aktor dalam
pemahaman konflik politik ekologi.
Salah
satu karakteristik politik ekologi adalah politik ekologi bukan merupakan suatu
grand theory yang koheren, tetapi
lebih sebagai suatu lensa spesifik yang dapat menguji interaksi antara
lingkungan dan masyarakat (Schubert, 2005). Peneliti politik ekologi mempunyai
sudut pandang yang berbeda dan tergantung pada latar belakang disiplin ilmu
yang sangat berbeda (geografi, antropologi, sosiologi, ilmu politik, ekonomi,
sejarah, dan manajemen), serta paradigma dan teori-teori yang dikemukakan oleh
para peneliti dengan bidang yang sama juga sangat sering bertentangan. Politik
ekologi menyediakan alat konseptual untuk analisis daripada sebuah teori yang
meliputi hubungan manusialingkungan. Selain itu, politik ekologi merupakan
studi kasus yang berbeda dan merupakan masalah-masalah kehidupan nyata secara
lokal, dimana teori-teori politik ekologi yang spesifik dan koheren yang
dijadikan basis penelitian para
peneliti sulit untuk diidentifikasi.
Perbedaan
ini mencerminkan perkembangan sejarah bidang tersebut (Robbins, 2004).
Penelitian yang menghubungkan perubahan lingkungan terhadap marjinalisasi
politik dan ekonomi muncul pertama kali pada 1970-an dan 1980-an sebagai upaya
untuk menerapkan teori ketergantungan terhadap periode krisis lingkungan.
Keragaman penelitian politik ekologi juga memiliki argument-argumen tak
terhitung, lebih kecil, dan berbeda yang ditujukan di antara banyak isu, yaitu:
kemungkinan untuk tindakan kolektif masyarakat, peran tenaga kerja manusia dalam
metabolisme lingkungan, sifat pengambilan dan penghindaran resiko dalam
perilaku manusia, keragaman persepsi lingkungan, penyebab dan dampak korupsi
politik, serta hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan. Meskipun terdapat
keragaman, perhatian dan pertanyaan utama politik ekologi terus berputar di
sekitar beberapa alat konseptual umum dan proses. Hal ini termasuk penjelasan
berantai lintas skala (cross-scale chain of explanation), komitmen untuk
mengeksplorasi masyarakat marjinal dan perspektif politik ekonomi yang
didefinisikan secara lebih luas.
Politik
ekologi seharusnya menggabungkan keragaman dan dinamika kehidupan, dimana jasa
ekologi dan sumberdaya yang tersedia pada waktu dan tempat tertentu akan
menentukan alternatif yang tersedia yang membentuk politik, ekonomi, dan
pengelolaan ekosistem (Peterson, 2000). Namun, batasan ini mencair karena
ekosistem merupakan hal yang dinamis dan berubah-ubah. Penelitian politik ekologi
yang tidak ditujukan untuk dinamika ekologi ini mungkin politik, tetapi bukan
ekologi. Demikian pula, ketika politik tidak dapat mengabaikan ekologi,
pendekatan ekologi perlu mempertimbangkan dinamika politik dalam penjelasan
mereka terhadap tindakan manusia. Vayda dan Walters (1999) menyatakan bahwa
obyek dari penjelasan politik ekologi adalah benar-benar merupakan perubahan
lingkungan. Usulan ini tidak berprasangka pentingnya faktor-faktor politik,
tetapi masih memperhatikan setiap dan semua jenis faktor-faktor tersebut setiap
kali terlihat dalam perjalanan penelitian, sehingga faktor-faktor tersebut
menjadi menarik dan relevan untuk menjelaskan lingkungan atau
peristiwa-peristiwa yang terkait lingkungan. Metode ini memulai penelitian
dengan fokus pada peristiwa atau perubahan lingkungan yang ingin dijelaskan,
sehingga memungkinkan untuk membangun rantai penyebab dan dampak yang mengarah
ke peristiwa atau perubahan tersebut.
Dari
berbagai pendekatan politik ekologi yang ada, Bryant dan Bailey (1997)
memfokuskan politik ekologi dunia ketiga pada analisis terhadap aktor-aktor, seperti:
negara, bisnis, lembaga-lembaga multilateral, lembaga swadaya masyarakat, dan
akar rumput yang memiliki peran di lingkungan. Penggunaan pendekatan
berorientasi aktor tersebut terutama dimotivasi oleh kepedulian untuk mengedepankan
politik dan keyakinan terkait dengan pemahaman tentang kepentingan dan tindakan
politik aktor yang merupakan hal politis. Dalam mengadopsinya, tidak berarti
pendekatan politik ekologi lainnya yang didasarkan pada analisis masalah
lingkungan, konsep, wilayah geografis, atau karakteristik sosial ekonomi tidak
valid; sebaliknya, pendekatan yang berbeda ini perlu dilihat sebagai pelengkap
satu sama lain. Beberapa keuntungan dari pendekatan berorientasi aktor, yaitu:
(1) dengan memeriksa peran dan pentingnya aktor dalam perubahan lingkungan,
maka akan dapat menempatkan temuan dari banyak penelitian empiris tingkat lokal
dalam perspektif teoritis dan komparatif, sehingga perasaan bahwa temuan
penelitian telah diterapkan secara terbatas di luar lokalitas dapat dihindari,
(2) dengan mengintegrasikan wawasan teoritis dan komparatif mengenai peran dan
pentingnya aktor yang berbeda, maka akan dapat memberikan gambaran yang cukup
komprehensif dari motivasi, kepentingan, dan tindakan aktor-aktor, dan (3)
dengan menekankan peran dan interaksi aktor dalam konflik lingkungan, maka
dapat ditegaskan bahwa politik menjadi sentral dalam penelitian politik
ekologi; dimana ada dua hal yang menjadi inti dari setiap pemahaman bermakna
politik tersebut, yaitu: (a) apresiasi bahwa politik adalah tentang interaksi
aktor-aktor dengan sumberdaya lingkungan, yang menunjukkan bahwa politik adalah
sebuah proses di mana pelaku mengambil dan memainkan peran sentral, dan (b)
pengakuan bahwa aktor yang lemah sekalipun memiliki kekuasaan untuk bertindak
mendapatkan kepentingannya, yang menyatakan kebutuhan ke ranah proses pemahaman
global (dan regional atau lokal) dalam apresiasi terhadap peran aktor –aktor tertentu
dalam pembangunannya, sehingga membuat proses-proses menjadi lebih nyata dan
bermakna secara simultan dalam hal politik.
Suatu
pemahaman yang lebih detail mengenai politisasi lingkungan dunia ketiga dapat
ditemukan dalam analisis relasi kekuasaan yang tidak setara yang sering
dikaitkan dengan konflik akses dan pemanfaatan berbagai sumberdaya lingkungan.
Jenis analisis ini telah lama menjadi tema sentral peneliti politik ekologi di
Afrika, Asia dan Amerika Latin yang berusaha untuk menjelaskan pertanyaan-pertanyaan
mengenai pengendalian lingkungan dan kontestasi. Ketidakadilan sosial dan
ekonomi adalah suatu gambaran integral dalam pengembangan politik ekologi di
dunia ketiga, yang secara umum menekankan marjinalitas dan kerentanan
masyarakat miskin terhadap proses sosial dan ekologi.
Sebagian
besar penelitian politik ekologi merupakan gagasan tentang kondisi sosial dan
lingkungan yang dibentuk melalui relasi kekuasaan yang tidak setara. Kekuasaan
tercermin dalam kemampuan satu aktor untuk mengontrol aktor lainnya dan dapat
dilihat di lingkungan melalui perubahan lahan, udara atau air, seperti:
penebangan hutan, hutan tanaman, ladang kapas, pembuangan limbah beracun,
limbah tambang, dan sebagainya (Bryant 1998).
Relasi
kekuasaan yang tidak setara merupakan faktor utama dalam memahami pola-pola
interaksi manusia-lingkungan dan sangat terkait dengan masalah lingkungan, yang
secara keseluruhan merupakan krisis lingkungan di dunia ketiga. Relasi ini
perlu dikaitkan dengan kekuasaan yang dimiliki oleh masing-masing aktor dalam
jumlah lebih besar atau kecil yang mempengaruhi hasil konflik lingkungan
tersebut. Kekuatan atau kekuasaan (power) dalam politik ekologi menjadi
konsep kunci dalam upaya untuk menentukan topografi dari suatu politisasi
lingkungan. Peneliti politik ekologi memahami konsep kekuasaan terutama dalam
kaitannya dengan kemampuan seorang aktor untuk mengendalikan interaksinya
dengan lingkungan dan interaksi aktor-aktor lain dengan lingkungan (Bryant dan
Bailey 1997; Bryant 1998).
Teori
akses dari Ribot dan Peluso (2003) menempatkan kekuasaan di dalam konteks
politik ekonomi yang membentuk kemampuan orang untuk memanfaatkan sumberdaya;
dimana akses didefinisikan sebagai kemampuan untuk memperoleh manfaat dari
sesuatu, termasuk obyek material, orang, kelembagaan, dan simbol. Analisis ini
diperluas melebihi gagasan property (bundle of right) menuju pendekatan
akses “bundle of power”, sehingga dapat membantu untuk memahami mengapa
beberapa orang atau kelembagaan memperoleh manfaat dari sumberdaya, ada atau
tidak ada hak yang mereka miliki. Kisaran kekuasaan (range of power)
melekat dan dilaksanakan melalui berbagai mekanisme, proses, dan relasi sosial,
yang mempengaruhi kemampuan orang untuk memperoleh manfaat dari sumberdaya.
Kekuasaan ini merupakan bagianbagian materi, budaya, dan politik ekonomi di
dalam ikatan (bundles) dan jejaring (webs) kekuasaan yang
membentuk akses sumberdaya. Bagian-bagian tersebut diartikan sebagai proses dan
relasi yang memungkinkan aktor-aktor memperoleh, mengontrol, dan memelihara
akses ke sumberdaya. Istilah mekanisme digunakan untuk menyebut proses dan
relasi tersebut. Ada beberapa jenis mekanisme yang bekerja. Mekanisme akses
berbasis hak (rights-based access), termasuk akses ilegal (access
illegal), dapat digunakan secara langsung untuk memperoleh manfaat;
sementara mekanisme akses struktural dan relasional (structural and relational
acces mechanism) termasuk atau memperkuat akses yang diperoleh secara
langsung melalui pembentukan akses berbasis hak atau yang ilegal.
Kategori
akses dalam mekanisme akses struktural dan relasional menggambarkan jenis-jenis
relasi kekuasaan, seperti: teknologi, modal, pasar, tenaga kerja dan peluang
tenaga kerja, pengetahuan, kewenangan, identitas sosial, dan relasi sosial. Setiap
bentuk akses memungkinkan, bertentangan, atau melengkapi mekanisme akses
lainnya dan menghasilkan pola-pola sosial yang kompleks dari distribusi manfaat.
Safarzynska dan Van Den Bergh (2010) menyatakan bahwa kekuasaan pada dasarnya
merupakan suatu atribut relasi sosial. Dalam ilmu sosial dan politik, definisi
kekuasaan yang ada dibangun pada dikotomi lembaga dan struktur.
Perspektif
lembaga menekankan mekanisme yang dilakukan oleh individu (atau kelompok) untuk
mencapai hasil yang diinginkan; sedangkan perspektif struktural difokuskan pada
sumber kekuasaan, yaitu unsur atau ciri institusional yang melimpahkan kekuasaan
pada kelompok atau individu tertentu. Dari perspektif lembaga, definisi
kekuasaan dapat dibedakan menjadi beberapa tipe, yaitu: (1) kemampuan untuk
mempengaruhi pilihan orang lain secara langsung, kemampuan untuk mendapatkan
apa yang diinginkan, dan kemampuan untuk memperoleh kemenangan dalam situasi
konflik, (2) kemampuan untuk mempengaruhi pilihan sekelompok orang lain, dan
(3) kemampuan untuk mempengaruhi preferensi, keyakinan, dan nilai-nilai orang
lain terhadap berbagai alternatif; sementara perspektif struktural menekankan
pada penerapan keputusan oleh sumber legitimasi kekuasaan yang berasal dari hak
istimewa posisi seseorang di dalam struktur dan akses terhadap individu yang
berkuasa, informasi, dan sumberdaya.
Konflik
akses dan pengelolaan sumberdaya alam juga muncul dalam pengelolaan sampah.
Pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh pengelolaan sampah di Indonesia
telah terjadi di hampir seluruh perkotaan. Sebagai contoh berdasarkan hasil
survei di TPA Piyungan – DIY pada tanggal 6 Mei 2001 terlihat bahwa masih
terdapat bahan-bahan berbahaya yang dibuang bersama sampah domestik, seperti:
Accu bekas, batu baterai bekas, dan pecahan lampu TL bekas. Bahan buangan
tersebut pada pembuatannya mengandung unsur timbal (Pb) yang sangat berbahaya
bagi manusia (Ganefati, S.P dkk. 2008).
Dampak
negatif yang dapat ditimbulkan oleh pembuangan sampah adalah : (1) sampah
sebagai sarana penular penyakit, sampah sebagai tempat berkembang biak, dan
sarang vektor penyakit, seperti serangga dan tikus; (2) sampah sebagai sumber
pencemar air, tanah, dan udara; serta (3) sampah sebagai faktor penyebab
penyakit karena sampah dapat menjadi sumber dan tempat hidup kuman penyakit
(Depkes, 1987).
Beberapa
faktor yang menjadi penyebab permasalahan sampah adalah masih adanya paradigma
pengelolaan sampah dalam perspektif masyarakat yang bertumpu pada pendekatan
akhir (end of pipe) yaitu hanya
sebatas kumpul, angkut dan buang yang berakhir di TPA. Cara pengelolaan sampah
dengan pendekatan lama menimbulkan banyak masalah salah satunya pencemaran air.
Paradigma pengelolaan sampah dengan pendekatan akhir sudah saatnya ditinggalkan
dan diganti dengan paradigma baru pengelolaan sampah terpadu. Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah mengamanatkan pengelolaan sampah
bertumpu pada konsep 3R. Selain itu, pengelolaan sampah yang diselenggerakan
oleh dinas terkait hanya berfokus pada pengumpulan dan pengangkutan ke Tempat
Pembuangan Akhir (TPA) tanpa pengolahan tertentu. Hampir semua pemerintah
daerah di Indonesia, masih menganut paradigma lama penanganan sampah kota, yang
menitikberatkan hanya pada pengangkutan dan pembuangan akhir. Selain itu
permasalah dalam pengelolaan sampah di seluruh wilayah di Indonesia adalah
penanganan sampah selalu bergantung kepada keberadaan TPA Bantargebang. Apabila
fasilitas ini gagal beroperasi karena ditutup secara sepihak oleh yang
mempunyai daerah atau karena sebab lain seperti gangguan teknis sehingga harus
dihentikan, gagal pula Pemda Jakarta melaksanakan tugas dan fungsinya mengelola
sampah. Akibatnya, sampah tidak terangkut dan menumpuk ditempat-tempat
penampungan sementara.
Penyelenggaraan
pengelolaan sampah yang dilakukan pemda selama ini sebagian besar belum sesuai
dengan metode dan teknik pengelolaan sampah yang berwawasan lingkungan,
sehingga berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan masyarakat
dan lingkungan. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah
(UU Pengelolaan Sampah), yang di dalammnya tidak saja mengatur bagaimana
pengelolaan sampah yang berwawasan lingkungan, tetapi juga mengatur bagaimana
tugas dan wewenang pemerintah dan pemda, peran serta masyarakat, larangan,
bahkan terdapat sanksi pidananya. Berdasarkan beberapa faktor tersebut, maka
potensi terjadinya konflik antara masyarakat dan pemerintah daerah seringkali
muncul. Sehingga perlu adanya alternatif solusi sebagai upaya penyelesaian
permasalahan konflik yang ditimbulkan dari pengelolaan sampah.
3. Alternatif penyelesaian
Pengelolaan
lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan
hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan,
pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup (Pasal 1
ayat (2) UU No. 23 Tahun 1997). Lebih lanjut dikatakan dalam Pasal 3 UU
Pengelolaan Lingkungan Hidup No. 23 Tahun 1997, bahwa pengelolaan lingkungan
hidup yang diselenggerakan dengan asas tanggungjawab, asas keberlanjutan dan
asas manfaat bertujuan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang
berwawasan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan manusia Indonesia
seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya yang beriman dan
bertagwa kepada Tuhan Yang maha Esa. Dan yang menjadi sasaran pengelolaan lingkungan
hidup ini adalah (Pasal 4 UUPLH No. 23 Tahun 1997):
a.
Tercapainya keselarasan dan keseimbangan
antara manuisa dengan lingkungan hidupnya.
b.
Terwujudnya manusia Indonesia sebagai
insan lingkungan hidup yang memiliki sikap dan tindak melindungi dan membina
lingkungan hidup.
c.
Terjaminnya kepentingan generasi masa
kini dan generasi masa depan
d.
Tercapainya kelestarian fungsi
lingkungan hidup.
e.
Terkendalinya pemanfaatan sumer daya
secara bijaksana.
f.
Terlindunginya Negara Kesatuan Republik
Indonesia terhadap dampak usaha dan/atau kegiatan diluar wilayah Negara yang
menyeabkan pencemaran dan/atau perusak lingkungan hidup.
Dalam
upaya untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup atau untuk mendapatkan mutu
lingkungan yang baik, dilakukan upaya memperbesar manfaat lingkungan dan
memperkecil resiko lingkungan, agar pengaruh yang merugikan dapat dijauhkan
sehingga kawasan lingkungan hidup dapat terpelihara. Pembangunan dapar
berjalan, tanpa menganggu lingkungan hidup.Untuk menjaga kelestarian lingkungan
hidup tidak dapat dilakukan sendiri oleh pemerintah, dibutuhkan swadaya
masyarakat banyak untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna sistem
pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup.
Metode
penyelenggaraan pengelolaan sampah yang saat ini dilakukan oleh pemda banyak
yang tidak sesuai UU. Untuk itu, pemerintah, DPR, pemda, dan pihak lainnya yang
terkait perlu segera mengambil langkah-langkah:
Pertama,
DPR bersama-sama dengan pemerintah harus lebih aktif lagi mensosialisasikan
keberlakuan UU Pengelolaan Sampah, yang merupakan pedoman sekaligus juga payung
hukum tertinggi bagi pemerintah dan pemda dalam mengatur, mengelola,
melaksanakan, sekaligus melakukan pengawasan terhadap kegiatan pengelolaan
sampah. Sehingga kedepan, penyelenggaraan pengelolaan sampah yang dilakukan
oleh pemda dapat dilaksanakan dengan lebih baik dan sesuai bertentang dengan UU
Pengelolaan Sampah.
Kedua,
DPR yang salah satu fungsi adalah melakukan pengawasan, harus segera memanggil
pihak-pihak yang terkait dengan pengelolaan sampah diantaranya Kemen LH, pemda,
dan pihak terkait lainnya, untuk memastikan bahwa UU Pengelolaan Sampah harus
dilaksanakan secara konsukuen;
Ketiga,
Pemerintah harus segera mendorong agar pemda tidak lagi menggunakan pendekatan open
dumping untuk menangani persoalan sampahnya, tetapi menggunakan
metode pengelolaan sampah yang lebih ramah lingkungan, misalnya dengan
menggunakan metode sanitary landfill, controlled landfill, teknologi
pembakaran yang mampu mengurangi jumlah sampah dengan menggunakan metode insenarator,
atau cara lainnya yang lebih ramah lingkungan, mengurangi plastik dengan
pembatasan di toko ritel, dan mendorong pembangunan fasilitas pengelolaan
sampah intermediate treatment facilities (ITF) seperti yang telah
diwacanakan oleh Gubernur DKI Jakarta. Untuk mewujudkan hal tersebut,
pemerintah harus lebih aktif mendorong dan menfasilitasi pemda dengan cara
memberikan bantuan baik berupa bantun teknis maupun dana, untuk memastikan
setiap pemda melakukan pengelolaan sampah dengan metode yang berwawasan
lingkungan.
4. Kesimpulan
Politisasi lingkungan telah mendorong kerusakan lingkungan
dan marjinalisasi masyarakat yang diakibatkan oleh relasi kekuasaan yang tidak
setara antar aktor. Salah satu permasalahan kerusakan lingkungan yang terjadi
di hampir semua wilayah di Indonesia adalah disebabkan oleh sampah. Penyelenggaraan
pengelolaan sampah yang dilakukan pemda selama ini sebagian besar belum sesuai
dengan metode dan teknik pengelolaan sampah yang berwawasan lingkungan,
sehingga berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan masyarakat
dan lingkungan. Permasalahan sampah bukan lagi sekedar masalah kebersihan dan
lingkungan saja, tetapi sudah menjadi masalah sosial yang berpotensi
menimbulkan konflik. Konflik pengelolaan sumberdaya alam seringkali tidak dapat
dihindari yang disebabkan oleh nilai-nilai dan/atau kepentingan yang
bertentangan dalam pemanfaatannya. Politik ekologi seharusnya menggabungkan
keragaman dan dinamika kehidupan, dimana jasa ekologi dan sumberdaya yang
tersedia pada waktu dan tempat tertentu akan menentukan alternatif yang
tersedia yang membentuk politik, ekonomi, dan pengelolaan ekosistem. Makalah
ini dapat menjadi salah satu pemicu untuk melaksanakan kajian lebih
komprehensif terkait dengan ekologi politik di Indonesia, terutama yang
berkorelasi dengan permasalahan lingkungan hidup dan pembangunan yang
berkelanjutan.
Daftar
pustaka:
Bannon I, Collier P. 2003. Natural Resources and Violent Conflict:
Options and Actions. Washington DC (US): World Bank Publication.
Blaikie P, Brookfield H. 1987. Land Degradation and Society. London
(GB): Methuen.
Bryant RL. 1992. Political ecology, an
emerging research agenda in third-world studies. Political Geography 11(1):12-36.
Bryant RL. 1998. Power, knowledge and
political ecology in the third world: a review. Physical Geography 22(1):79–94.
Bryant RL, Bailey S. 1997. Third World Political Ecology. London
(GB): Routledge.
De Koning R. 2008. Resource-conflict links in Sierra Leone and
the democratic Republic of the Congo. Sipri insights on peace and
security No. 2008/2.
[Depkes] Departemen Kesehatan RI, 1987.,
Pembuangan Sampah Akademi Penilik Kesehatan Teknologi Sanitasi, Departemen
Kesehatan RI, Jakarta, Hal. 21-34.
Escobar A. 2006. Difference and conflict
in the struggle over natural resources: a political ecology framework. Development 49(3):6–13.
http://dx.doi.org/10.1057/palgrave.development.1100267.
[FAO] Food and Agriculture Organization.
2000. Conflict and Natural Resource
Management. Rome (IT): FAO.
Ganefati SP., Susanto J.P., dan Suwarni
A., 2008, PENGOLAHAN LEACHATE TERCEMAR Pb SEBAGAI UPAYA PENCEGAHAN PENCEMARAN
LINGKUNGAN TPA, J. Tek. Ling., Vol. 9 No. 1 Hal.92-97 Jakarta, ISSN 1441-318X.
Gray B. 2003. Framing of environmental
disputes. Di dalam: Lewicki R, Gray B, Elliot M, editor. Making Sense of Intractable Environmental
Conflicts: Concepts and Cases. Washington DC (US): Island Pr.
Harianto Y.E., (2016), Dinamika
konflik pengelolaan sampah (studi deskriptif konflik realistis pengelolaan
sampah tpa benowo surabaya), Komunitas, ISSN 2303-1166, Vol. 5 / No. 2.
Neumann,
R.P. (2005) Making Political Ecology.
Hodder Arnold: London.
Neumann RP. 1998. Imposing Wilderness: Struggles over
Livelihood and Nature Preservation in Africa. Berkeley (US): University
of California Press.
Peterson G. 2000. Political ecology and
ecological resilience: an integration of human and ecological dynamics. Political Geography 23:863–889.
Rahman
Z., (2015), POLEMIK PENGELOLAAN SAMPAH, KESENJANGAN ANTARA PENGATURAN DAN
IMPLEMENTASI, RechtsVinding Online, terdapat di: http://rechtsvinding.bphn.go.id/jurnal_online/POLEMIK%20PENGELOLAAN%20SAMPAH%20DAN%20ALTERNATIF%20SOLUSINYA%2017%20Nov%20%202015%20kirim.pdf
(diakses tanggal 12 Desember 2016)
Ribot JC, Peluso NL. 2003. A theory of
access. Rural Sociology 68(2):153-181.
Robbins P. 2004. Political Ecology: A Critical Introduction. Malden (US):
Blackwell Publishing.
Rocheleau D, Thomas-Slayter B, Wangari
E. 1996. Feminist political ecology:
global issues and local experiences. London (GB): Routledge.
Safarzynska K, Van den Bergh JCJM. 2010.
Evolving power and environmental policy: Explaining institutional change with
group selection. Ecological Economics 69:743–752.
Schubert J. 2005. Political Ecology in Development Research,
An Introductory Overview and Annotated Bibliography. Bern (CH): NCCR
North-South.
Stott P, Sullivan S. 2000. Political Ecology: Science, Myth and Power.
London (GB): Arnold.
Turner MD. 2004. Political ecology and
the moral dimensions of ‘‘resource conflicts’’: the case of farmer–herder
conflicts in the Sahel. Political
Geography 23:863–889. http://dx.doi.org/10.1016/j.polgeo.2004.05.009.
Vayda AP, Walters BB. 1999. Against
political ecology. Human Ecology 27(1):167-179.
No comments:
Post a Comment