1.
Pendahuluan
Pulau Jawa adalah pulau yang membujur dari barat ke timur
dengan luas daratan sekitar 126.700 km2 yang dikelilingi oleh
perairan Laut Jawa, Selat Sunda, Samudera Hindia, dan Selat Bali. Secara
administratif, Pulau Jawa dibagi atas enam provinsi, yaitu DKI Jakarta, Jawa
Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, dan Banten. Provinsi ini juga
meliputi beberapa pulau di sekitarnya diantaranya Pulau Madura, Kepulauan
Seribu dan Kepulauan Karimun Jawa, serta beberapa pulau kecil lainnya yang
tersebar di seluruh garis pantai Pulau Jawa.
Pulau Jawa luasnya hanya mencapai 7% dari total seluruh
luas daratan Nusantara, tetapi mempunyai daya tarik yang tinggi ditinjau dari
segi sosial, ekonomi, geopolitik, dan kondisi sumberdaya alam. Menurut
Pravitasari (2009), Pulau Jawa memiliki posisi penting dalam kehidupan sosial
dan pemerintahan nasional karena: (a) merupakan lokasi pusat pemerintahan; (b)
ditempati oleh sebagian besar penduduk Indonesia yang dihuni oleh sekitar 60%
penduduk nasional (Ekawati et al.,
2014); dan (c) berkontribusi paling besar dalam perekonomian nasional (sekitar
59% PDRB nasional). Berbagai faktor, seperti kekayaan sumberdaya alam
(khususnya kesuburan tanah), sejarah, geografi, sosial-budaya, kondisi
infrastruktur dan aksesibilitas ke sistem perekonomian nasional dan global
menyebabkan Pulau Jawa tumbuh menjadi kawasan paling berkembang di Indonesia
(Pravitasari, 2009).
Berdasarkan letak geografi dan kondisi topografi, Pulau
Jawa memiliki kelebihan dibanding pulau lain di Indonesia. Pulau Jawa yang
merupakan hasil bentukan kegiatan vulkanik memberikan tingkat kesuburan yang
tinggi. Secara geologik, Pulau Jawa merupakan kawasan episentrum gempa bumi
karena dilintasi oleh patahan kerak bumi lanjutan patahan kerak bumi dari Pulau
Sumatera yang berada di lepas pantai selatan Pulau Jawa (Arifianto, 2010).
Pulau ini memiliki barisan gunung aktif, antara lain, Gunung Merapi di Jawa
Tengah dan Gunung Bromo di Jawa Timur. Lebih lanjut, Iklim P. Jawa berdasarkan
data iklim dari Badan Meteologi dan Geofisika berada pada tipe iklim A sampai F
(Schmidt & Ferguson,1951) dengan curah hujan rata-rata tahunan berkisar
antara 1000-5000 mm/th. Iklim A dan B terutama terdapat di Propinsi Jawa Barat,
C dan D di Jawa Tengah, sedangkan E dan F terutama di Jawa Timur (Rusdiana,
2001).
Jawa adalah salah satu pulau di Indonesia dan merupakan terluas ke-13 di dunia. Dengan jumlah penduduk sekitar hampir
160 juta, pulau ini berpenduduk
terbanyak di
dunia dan merupakan salah satu tempat terpadat di dunia. Meskipun hanya
menempati urutan terluas ke-5, Pulau Jawa dihuni oleh 60% penduduk Indonesia,
Angka ini turun jika di bandingkan sensus penduduk tahun 1905 yang mencapai
80,6% dari seluruh penduduk indonesia penurunan penduduk di pulau jawa secara
persentase di akibatkan perpindahan penduduk (Transmigrasi) dari pulau jawa ke
seluruh indonesia. Ibu
kota Indonesia, Jakarta, terletak di Jawa bagian barat laut
(tepatnya di ujung paling barat Jalur Pantura). Lebih lanjut, Berdasarkan proyeksi yang dilakukan oleh BPS (Biro Pusat
Statistik), jumlah penduduk P. Jawa diperkirakan akan mencapai sekitar 150 juta
jiwa pada tahun 2015 dari sekitar 250 juta jiwa penduduk Indonesia (Rusdiana,
2001). Jawa adalah pulau yang menjadi
tempat tinggal lebih dari 60% populasi Indonesia (Ekawati dkk., 2015) Dengan
kepadatan 1.317 jiwa/km²,pulau ini juga menjadi salah satu pulau di dunia yang
paling dipadati penduduk. Sekitar 45% penduduk Indonesia berasal dari etnis
Jawa (Anonim, 2016).
Apabila
ditinjau dari sudut pandang asal usul penduduk yang bermukim di Pulau Jawa,
tidak akan terlepas dari sejarah manusia jawa dari jaman prasejarah. Manusia tertua, yang dikenal di dunia, berumur 1.8 juta
tahun. Fosil manusia ini adalah tengkorak dari lima individu, tempat
penemuannya di Perning, Mojokerto dan ke dalam ilmu paleoantropologi
dikategorikan sebagai Pithecanthropus modjokertensis atau menurut
terminology baru disebut Homo erectus modjokertensis. Inilah awal hunian
manusia di pulau Jawa. Homo erectus hidup di Jawa --dan rupanya di
sebagian pulau lain juga sampai kurang lebih 200 ribu tahun yang lampau. Sejak
40 ribu tahun yang lalu Jawa dan sebagian besar kepulauan Nusantara telah
dihuni oleh Homo sapiens, mula-mula dari ras Autromelanesid, yang sejak kurang lebih 10 ribu tahun mengalami
proses mongolidisasi. Proses mongolidisasi ini agak intensif dalam seribu tahun
yang akhir ini. Etni Jawa terbentuk sekitar 2168 tahun yang lalu (Glinka,
2001).
Sejak dahulu masyarakat Jawa telah membuka hutan, mengubah ekosistem dan
bentang alam untuk dijadikan sawah dan pemukiman untuk mendukung pertumbuhan
populasi. Tercatat bahwa dampak manusia yang intensif terhadap hutan di Jawa
baru dimulai kurang lebih 1.500 tahun yang lalu (Sèmah et al, 2011) atau tahun 800 M (Tolo, 2013). Pulau Jawa dengan jumlah penduduk
terpadat memang terus mengalami penurunan kualitas ekosistem. Jumlah penduduk
yang demikian besar dengan tingkat kesejahteraan yang mengalami penurunan dari
tahun ke tahun, telah menyebabkan tekanan terhadap kebutuhan sumber daya alam
yang semakin meningkat. Akibatnya, perubahan ekosistem Pulau Jawa yang mengarah
pada penurunan kualitasnya tak mungkin terhindarkan. Berdasarkan uraian
tersebut, maka makalah ini akan menjelaskan eksistensi orang Jawa walaupun
terjadi penurunan kualitas lingkungan di Pulau Jawa. Deskripsi ini meliputi
beberapa faktor seperti laju populasi penduduk di Pulau Jawa, degradasi
kualitas lingkungan di Pulau Jawa, kearifan lokal sebagai salah satu kunci eksistensi orang Jawa, dan Pulau Jawa sebagai Pilihan.
2.
Laju populasi penduduk di Pulau Jawa
Dinamika penduduk adalah perubahan keadaan
penduduk. Perubahan perubahan tersebut dipengaruhi oleh beberapa hal. Dinamika
atau perubahan lebih cenderung pada perkembangan jumlah penduduk suatu Negara
atau wilayah tersebut. Jumlah penduduk tersebut dapat diketahui melalui sensus,
registrasi dan survey penduduk. Di Indonesia sensus pertama dilaksanakan pada
tahun 1930 pada zaman Hindia Belanda. Sedangkan sensus yang dilakukan oleh
pemerintah Indonesia dimulai pada tahun 1961,1971, 1980, 1990, 2000, dan yang
terakhir tahun 2010.
Pertumbuhan penduduk di Pulau Jawa
dipengaruhi oleh berbagai variabel demografi seperti kelahiran, kematian, dan
migrasi. Meskipun tingkat fertilitas di Pulau Jawa sejak tahun 1970 hingga
tahun 2000 mengalami penurunan yang cepat dibandingkan daerah lain di
Indonesia, tetapi penurunan tingkat fertilitas tersebut ternyata diikuti dengan
banyaknya migran masuk ke Pulau Jawa (Malamassam &
Surtiari, 2011). Hal ini terjadi terutama karena faktor daya tarik ekonomi yang
dimiliki Pulau Jawa.
Jika dicermati lebih lanjut, 17
kota/kabupaten yang memiliki tekanan penduduk tinggi umumnya didominasi oleh
wilayah administratif kota. Wilayah kabupaten yang tergolong dalam tipologi
tinggi ini pun (Kabupaten Bogor dan Kabupaten Tangerang) pada umumnya
berbatasan langsung dengan wilayah administratif kota. Sementara itu, kota-kota
sedang dan kota-kota kecil, serta sebagian besar kabupaten di Pulau Jawa
tersebar dalam kelas sedang dan rendah. Tingginya nilai indeks kependudukan di
beberapa wilayah perkotaan di Pulau Jawa menunjukkan pemusatan tekanan penduduk
yang tinggi di kota-kota besar di Pulau Jawa akibat distribusi penduduk yang
tidak merata. Fenomena lain yang dapat ditangkap dari persebaran spasial
tipologi indeks kependudukan adalah adanya beberapa wilayah kota yang berasal
dari pemekaran kecamatan dari sebuah kabupaten. Kota hasil pemekaran, seperti
Sukabumi, Cirebon, Tasikmalaya, Magelang, Probolinggo, dan Madiun memiliki
perkembangan yang jauh lebih pesat dibanding kabupaten induknya, termasuk
perkembangan dalam hal tekanan penduduk (Malamassam &
Surtiari, 2011).
Pemusatan tekanan penduduk terjadi di wilayah
barat Pulau Jawa, terutama di DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten. Wilayah DKI
Jakarta yang merupakan pusat pemerintahan dan pusat seluruh aktivitas ekonomi
di Indonesia membawa konsekuensi tingginya tekanan penduduk di wilayah ini,
terutama disebabkan faktor migrasi. Beberapa wilayah perkotaan di Provinsi Jawa
Barat dan Banten memiliki jarak geografis cukup dekat dengan Jakarta kemudian
berfungsi sebagai hinterland Jakarta
dan turut mendapat imbas tekanan penduduk yang cukup besar. Pada kasus Pulau
Jawa, kepadatan dan pertumbuhan penduduk yang rendah lebih banyak terjadi di
kabupaten-kabupaten di Jawa Timur dan Jawa Tengah, yang pada umumnya memiliki
migran keluar yang cukup besar. Studi Darmawan & Chotib (2007) menunjukkan
migrasi masuk yang sangat tinggi terjadi di Jawa Barat dan DKI Jakarta,
sedangkan migrasi keluar di Pulau didominasi oleh Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Pertumbuhan penduduk adalah perubahan populasi
sewaktu-waktu, dan dapat dihitung sebagai perubahan dalam jumlah individu dalam
sebuah populasi menggunakan “per waktu unit” untuk pengukuran. Sebutan
pertumbuhan penduduk merujuk pada semua spesies, tapi selalu mengarah pada
manusia, dan sering digunakan secara informal untuk sebutan demografi nilai
pertumbuhan penduduk, dan digunakan untuk merujuk pada pertumbuhan penduduk
dunia.
Perubahan tersebut selalu terjadi, dan dalam
Undang-Undang No. 10 Tahun 1992 Tentang ´Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan
Keluarga Sejahtera disebut sebagai Perkembangan Kependudukan. Perkembangan
kependudukan terjadi akibat adanya perubahan yang terjadi secara alami maupun
karena perilaku yang terkait dengan upaya memenuhi kebutuhannya. Perubahan
alami tersebut adalah karena kematian dan kelahiran. Sedangkan yang terkait
dengan upaya pemenuhan kebutuhan adalah migrasi atau pindahan tempat tinggal.
Adapun faktor-faktor demografi yang mempengaruhi pertambahan penduduk antara
lain:
a.
Kematian,
adalah hilangnya tanda-tanda kehidupan manusia secara permanen. Kematian
bersifat mengurangi jumlah penduduk dan untuk menghitung besarnya angka
kematian caranya hampir sama dengan perhitungan angka kelahiran. Banyaknya
kematian sangat dipengaruhi oleh faktor pendukung kematian dan faktor penghambat kematian.
b.
Kelahiran
bersifat menambah jumlah penduduk. Ada beberapa faktor yang menghambat
kelahiran dan mendukung kelahiran.
c.
Migrasi,
merupakan akibat dari keadaan lingkungan alam yang kurang menguntungkan. Sebagai
akibat dari keadaan alam yang kurang menguntungkan menimbulkan terbatasnya
sumber daya yang mendukung penduduk di daerah tersebut.
Tinjauan migrasi secara regional sangat
penting dilakukan terutama terkait dengan kepadatan dan distribusi penduduk
yang tidak merata. Migrasi salah satu dari tiga komponen dasar dalam demografi,
Migrasi bersama dengan dua komponen lainnya, kelahiran dan kematian,
mempengaruhi dinamika kependudukan di suatu wilayah.
Selanjutnya akan dibahas lebih lanjut mengapa
terjadi migrasi terutama ke pulau Jawa, karena hal inilah yang dianggap sebagai
hal yang penting mempengaruhi kepadatan penduduk pulau Jawa yang semakin
meningkat. Selain eksistensi penduduk pulau Jawa yang menduduki urutan pertama
penduduk terbanyak di seluruh wilayah Indonesia. studi yang dilakukan oleh Na’im
dan Syaputra, (2011) menjelaskan tentang struktur dan komposisi penduduk menurut kelompok suku bangsa secara rinci
Suku Jawa yang berasal dari Pulau Jawa merupakan kelompok suku bangsa yang
terbesar dengan populasi sebanyak 95,2 juta jiwa atau sekitar 40,2 persen dari
populasi penduduk Indonesia. Suku Jawa ini merupakan gabungan dari Suku Jawa,
Osing, Tengger, Samin, Bawean/Boyan, Naga, Nagaring dan suku-suku lainnya di
Pulau Jawa. Suku bangsa terbesar berikutnya
secara berturut-turut adalah Suku Sunda dengan jumlah sebanyak 36,7 juta jiwa
(15,5 persen), Suku Batak sebanyak 8,5 juta (3,6 persen) dan Suku asal Sulawesi
lainnya sebanyak 7,6 juta jiwa (3,2 persen). Suku Batak mecakup Suku Batak
Angkola, Batak Karo, Batak Mandailing, Batak Pakpak Dairi, Batak Simalungun,
Batak Tapanuli, Batak Toba dan Dairi. Sedangkan kelompok suku bangsa asal
Sulawesi lainnya merupakan gabungan dari sebanyak 208 jenis suku bangsa asal
Sulawesi tidak termasuk Suku Makassar, Bugis, Minahasa dan Gorontalo.
Banyak hal menarik yang dapat didiskusikan
dari Migrasi penduduk luar Jawa ke Jawa, di bawah ini akan dicoba memberikan
ilustrasi tentang hal-hal tersebut. Berikut ini adalah hal-hal yang menjadi
daya tarik migrasi ke pulau Jawa :
a.
Pembangunan
cenderung hanya di Jawa, Pulau Jawa merupakan pusat pemerintahan, selalu
mendapat sorotan dunia. Makanya pembangunan sangat gencar karena dianggap
sebagai representasi Indonesia. Pada akhirnya terciptalah kota-kota
metropolitan di Jawa, seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Pembangunan yang
gencar di Jawa tentunya seiring sejalan dengan terbukanya lapangan kerja,
sehingga angkatan kerja tentu akan menuju Jawa dari seluruh pelosok negeri.
Walaupun sebenarnya, hal ini bukan jadi alasan untuk mengesampingkan
pembangunan di daerah lain.
b.
Infrastruktur
lebih Fokus di Jawa, di Jawa pun tersebar berbagai infrastruktur handal dan
modern. Mulai dari kampus-kampus, jalan-jalan, serta sarana transportasi lain.
Bahkan baru-baru ini pemerintah juga tengah getol membangun jalur kereta cepat
di Jakarta sementara di beberapa pelosok Indonesia masih ada yang belum
kecipratan listrik hingga hari ini. Penduduk di Jawa hidup sangat nyaman,
apa-apa murah, dimudahkan dengan fasilitas-fasilitas yang ada. Oleh karena itu
tak heran kalau orang luar Jawa yang sudah ke Jawa, tidak mau balik ke asalnya. Akibatnya
penduduk di Pulau Jawa semakin meningkat, sementara daya dukung alam sudah
semakin berkurang karena padatnya penduduk. Kepadatan penduduk yang tidak
merata menimbulkan beberapa permasalahan dalam aspek kependudukan yang
berakibat pada aspek lainnya seperti, munculnya permukiman kumuh, kebutuhan
akan lapangan pekerjaan di suatu wilayah, kemacetan, pencemaran dan sebagainya.
Jadi mengapa Pulau Jawa memiliki kepadatan penduduk paling tinggi dibandingkan
dengan pulau lainnya, karena hampir semua aspek kegiatan terpusat di Pulau
Jawa.
3.
Degradasi Kualitas Lingkungan di Pulau Jawa
Sumber daya alam merupakan materi yang tersedia di Bumi
yang digunakan untuk mendukung kehidupan dan kebutuhan manusia. Sumber daya
alam memainkan peranan penting dalam perkembangan peradaban manusia. Mulai dari
peradaban awal di Mesir hingga berlanjut ke zaman modern, sumber daya alam
telah digunakan untuk memperkuat peradaban dan mendukung pondasi serta
memelihara kehidupan manusia. Hal ini dibuktikan dengan sebagian besar
peradaban awal berada di lembah sungai yang kaya dengan sumber daya alam. Salah
satu sumber daya alam yang memegang peranan penting dalam perkembangan
peradaban adalah hutan. Beberapa peradaban awal bangkit dan bertahan dengan
adanya hutan, namun kemudian runtuh ketika terjadi kerusakan hutan yang
menyebabkan kekeringan seperti peradaban Maya (Hodell et al, 1995; Haug et al, 2003; Elizalde, 2012) dan
Mesopotamia (Weiss, 1993; Cullen, 2000).
Luas daratan pulau Jawa adalah 13 juta ha dan mayoritas
hutannya merupakan hutan hujan tropis dengan ekosistem mulai dari mangrove
hingga hutan hujan tropis dataran tinggi. Luas hutan di Jawa mencapai 3.312
ribu ha dengan hutan terluas di Jawa Timur (1.361 ribu ha) dan terkecil di D.I.
Yogyakarta (16 ribu ha) dengan tingkat deforestrasi hanya 0,14% (KLHK, 2014). Keberadaan
hutan di pulau Jawa yang relatif tidak banyak berubah dan rusak mendukung
perkembangan masyarakat serta berpengaruh
kepada keberadaan peradaban masyarakat Jawa untuk tetap tinggal di
pulau Jawa.
Berdasarkan
struktur morfologinya menurut Malamassam & Surtiari (2011), Pulau Jawa
dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu Pulau Jawa bagian utara, tengah, dan
selatan. Pulau Jawa bagian utara berupa dataran rendah yang luas, memanjang
dari Serang di bagian barat sampai ujung timur, mempunyai sungai-sungai yang
bermuara ke Laut Jawa (Rusdiana, 2001). Pulau Jawa bagian utara memiliki
karakteristik pantai yang landai akibat proses pembentukan delta yang cepat.
Akibatnya, Pulau Jawa bagian utara memiliki banyak pelabuhan yang aktif dan
berkembang dengan pesat. Kota-kota di sekitar pantai utara Pulau Jawa memiliki
tingkat urbanisasi yang tinggi dan pertambahan penduduk yang tinggi terutama di
wilayah yang dekat dengan pelabuhan (Malamassam & Surtiari (2011). Hal yang
serupa terjadi di Pulau Jawa bagian tengah yang merupakan kawasan dengan kesuburan
yang sangat tinggi. Wilayah ini memiliki deretan gunung dan pegunungan yang
merupakan tempat hulu-hulu sungai utama (Rusdiana, 2001). Sungai-sungai dan
mata air yang berada hingga bagian lereng di bagian atas perbukitan yang
terdapat di wilayah ini sangat memungkinkan untuk pelaksanaan sistem pertanian
sawah irigasi. Akan tetapi, pertumbuhan penduduk yang terus terjadi dan
kepadatan penduduk yang terus meningkat mendorong terjadinya alih fungsi lahan
subur sebesar 1,67 juta ha (Kartodiharjo & Jhamtani, 2006). Hal yang
sebaliknya terjadi di Pulau Jawa bagian selatan, pertumbuhan penduduk lebih
rendah dibandingkan Pulau Jawa bagian utara dan tengah. Secara morfologi,
wilayah ini memiliki ciri kawasan karst atau batuan kapur dengan tingkat
kesuburan rendah.
Pembangunan
di Pulau Jawa lebih berkembang dibandingkan dengan di luar Jawa. Pembangunan
infrastruktur seperti jalan dan jembatan berkembang pesat akibat dari kebijakan
masa lalu yang cenderung lebih mengutamakan pembangunan infrastruktur di Pulau
Jawa dibandingkan dengan di luar Jawa. Selain itu, kondisi pasar dan
tersedianya tenaga kerja mendorong perkembangan industri di Pulau Jawa.
Fenomena
yang terjadi di Pulau Jawa menunjukkan adanya keterkaitan yang sangat erat
antara aspek kependudukan dan lingkungan. Dinamika yang terjadi di dalam aspek
kependudukan akan mempengaruhi kondisi lingkungan hidup dan juga sebaliknya.
Beberapa fenomena yang terkait dengan degradasi lingkungan adalah terjadinya
bencana yang disebabkan oleh ulah manusia, seperti banjir dan tanah longsor.
Dalam rentang tahun 1998-2004, tercatat bahwa banjir mencakup 32,96% dari
kejadian bencana, sedangkan tanah longsor mencakup 25,04% di Pulau Jawa
(Kartodiharjo dan Jhamtani, 2006). Tingginya angka ini menandakan tingkat
kerusakan hutan dan lahan yang terjadi di Pulau Jawa. Menurut Malamassam &
Surtiari (2011), daerah yang paling sering mengalami longsor dan banjir adalah
Jawa Barat dan Jawa Tengah. Hutan merupakan penyangga ekosistem sehingga harus
mampu menjalankan fungsi ekologi sebagai penyimpan air, penahan banjir, tanah
longsor, menyuburkan tanah, menyediakan udara bersih, dan fungsi keanekaragaman
hayati. Studi Ekawati et al. (2015)
mengemukakan bahwa hutan di Pulau Jawa luasnya 12.960.071 Ha, kawasan hutannya
sebesar 3.135.648,70 Ha (±24% dari luas Pulau Jawa), dengan tutupan hutan
sekitar 19%. Hutan tersebut terdiri atas hutan lindung (735.194,560 Ha), hutan
produksi (1.812.186,050 Ha), dan hutan konservasi (76.065,304 Ha). Lebih
lanjut, luas hutan alam di DAS Bengawan Solo
berkurang secara signifikan, yakni sekitar 31 persen hanya dalam kurun waktu
lima tahun (2002-2007) dan beralih menjadi daerah perkebunan atau tanah terbuka
serta permukiman yang meningkat menjadi 26 persen (Mawardi, 2008).
Masalah
banjir di Pulau Jawa umumnya terjadi karena frekuensi curah hujan yang tinggi
di daerah aliran sungai (DAS) dan lahan-lahan yang mengalami proses degradasi
dan sistem drainase buruk (Malamassam & Surtiari, 2011). Menurut Rusdiana
(2001), kondisi daerah aliran sungai (DAS) di Pulau Jawa umumnya pendek (30-70
km), sempit, dan curam (banyak berjurang) dengan luas rata-rata kurang dari 250
km2. Di antara DAS tersebut terdapat 24 DAS yang mempunyai luas
lebih dari 250 km2 termasuk di dalamnya 7 DAS kritis yang mempunyai
luas lebih dari 3.000 km2 dan 2 DAS mempunyai luas lebih dari 10.000
km2, yaitu DAS Brantas seluas 11.050 km2 dan DAS Solo
15.400 km2. Di daerah perkotaan, yakni di bagian hilir DAS, masalah
drainase yang buruk merupakan juga menjadi penyebab terjadinya banjir.
Morfometri sungai, danau, dan waduk mengalami perubahan yang relatif cepat
karena proses sedimentasi yang dipicu oleh erosi yang semakin meningkat.
Sedimentasi juga terjadi di waduk-waduk di Pulau Jawa, seperti Waduk Gajah
Mungkur di Kabupaten Wonogiri yang mengalami proses sedimentasi secara cepat
karena erosi di bagian hulu sehingga daya tampung air waduk tersebut cepat
merosot (Pasandaran et al., 2011).
Dari
segi ketersediaan air, Pulau Jawa merupakan pulau yang kaya akan dengan
sumberdaya air, tetapi bukan berarti Pulau Jawa terbebas dari krisis air.
Ketersediaan air menjadi masalah serius karena DAS yang rusak, pengaruh
perkembangan iklim global, kondisi lingkungan buruk, dan pencemaran. Menurut
Arifianto (2010), jika dilihat dari ketersediaan air per kapita per tahun, di
Pulau Jawa hanya tersedia 1.750 m3 per kapita per tahun, masih jauh
di bawah standar kecukupan yaitu 2.000 m3 per kapita per tahun.
Jumlah ini akan terus menurun sehingga diperkirakan pada tahun 2020 hanya akan
tersedia 1.250 m3 per kapita per tahun. Lebih lanjut, Menurut Badan
Meteorologi dan Geofisika setidaknya terdapat 30 kabupaten yang mengalami
kesulitan air, dan tergolong parah adalah yaitu di 13 kabupaten di provinsi
Jawa Timur, 12 kabupaten di Jawa Tengah, 3 di Jawa Barat, 2 di DI. Yogyakarta,
dan 2 kabupaten di provinsi Banten. Sedangkan menurut data BPS tahun 2000, desa
yang rawan air bersih meliputi desa-desa di kabupaten Serang, Tangerang,
Bekasi, Karawang, Subang, Indramayu, Cirebon, Garut, Sukabumi, Grobogan, Demak,
Blora, Rembang, Brebes, Wonogiri dan Cilacap (Mawardi, 2010).
Pencemaran
air pada umumnya diakibatkan oleh kegiatan manusia. Besar kecilnya pencemaran
akan tergantung dari jumlah dan kualitas limbah yang dihasilkan. Sampah organik
yang dibuang ke sungai menyebabkan berkurangnya jumlah oksigen terlarut, karena
sebagian besar digunakan bakteri untuk proses pembusukannya. Penggunaan
deterjen secara besar-besaran juga meningkatkan potensi pencemaran air sungai
atau danau (Supriharyono, 2007). Sebagai contoh untuk Sungai Citarum di
Provinsi Jawa Barat, memiliki bagian hulu sungai yang bermula di Gunung Wayang
hingga daerah Waduk Saguling . Kerusakan lingkungan di bagian hulu sungai
Citarum tersebut boleh dikatakan sudah dalam taraf yang mengkhawatirkan (Imansyah,
2012). Lebih lanjut, studi yang
dilakukan oleh Ridwan dkk., (2016) menunjukkan bahwa kualitas sungai dan
estuari yang berada di kawasan Cagar Alam Pulau Dua, Serang, Banten juga
mengalami gangguan pencemaran akibat aktivitas manusia.
Kerusakan
Pesisir dan Pantai. Secara ekologis berpotensi sebagai perlindungan terhadap
wilayah pesisir dan pantai dari ancaman sedimentasi, abrasi, dan intrusi air
laut. Kerusakan lingkungan yang dialami wilayah pesisir utara Pulau Jawa, makin
lama makin parah, penyebabnya adalah terjadinya abrasi, pengikisan daratan oleh
air laut. Diperparah lagi, tanaman bakau dan terumbu karang yang menjadi
pertahanan pantai utara ikut hancur. Akibat abrasi berbagai infrastruktur
rusak, lingkungan hancur, ekosistem berubah. Dan secara sosial ekonomi juga
menciptakan bencana terhadap penduduk. Pencemaran industri dan abrasi yang jadi
penyebabnya. Sebagai contoh, studi yang dilakukan oleh Damaianto dan Masduqi
(2014) menunjukkan bahwa terjadi penurunan kualitas air di pantai utara Tuban akibat
aktivitas manusia seperti pelayaran, pelabuhan nelayan, tempat pelelangan ikan
dan industri di daerah pesisir diperkirakan memakai bahan-bahan yang mengandung
logam berat. Lebih lanjut, perairan pesisir pantai Teluk Youtefa mengandung
bahan cemaran organik yang berada diatas nilai baku mutu misalnya kadar COD
tertinggi untuk semua lokasi sampling (Erari dkk, 2012). Sementara itu, Salah
satu bentuk ekosistem yang memegang peranan penting di kawasan pesisir
Indonesia adalah ekosistem mangrove. Hutan mangrove umumnya ditemukan hampir di
seluruh wilayah pesisir dan laut Indonesia yang memiliki hubungan langsung
terhadap pasang surut air laut di sepanjang pesisir. Hutan mangrove berperan
sebagai salah satu penunjang perekonomian masyarakat pesisir. Secara ekologis,
hutan mangrove juga memiliki banyak fungsi yaitu sebagai habitat biota laut,
perlindungan wilayah pesisir dan pantai, penyerapan karbon, pencegah terjadinya
abrasi dari berbagai ancaman sedimentasi, pemecah gelombang, dan tempat
pemijahan bagi ikan yang hidup di laut bebas (Tarigan, 2008). Kerusakan
ekosistem hutan mangrove di desa Teluk Belitung Kabupaten Kepulauan Meranti
disebabkan oleh berbagai aktivitas manusia seperti aktivitas industri,
penebangan pohon dan abrasi pantai (Umayah dkk., 2016).
4.
Kearifan lokal sebagai salah satu kunci
eksistensi orang Jawa
Masyarakat
Jawa sangat kental dengan masalah tradisi dan budaya. Tradisi dan budaya Jawa
hingga akhir-akhir ini masih mendominasi tradisi dan budaya nasional di
Indonesia. Di antara faktor penyebabnya adalah begitu banyaknya orang Jawa yang
menjadi elite negara yang berperan dalam percaturan kenegaraan di Indonesia
sejak zaman sebelum kemerdekaan maupun sesudahnya. Nama-nama Jawa juga sangat
akrab di telinga bangsa Indonesia, begitu pula jargon atau istilah-istilah
Jawa. Hal ini membuktikan bahwa tradisi dan budaya Jawa cukup memberi warna
dalam berbagai permasalahan bangsa dan negara di Indonesia.
Di
sisi lain, ternyata tradisi dan budaya Jawa tidak hanya memberikan warna dalam
percaturan kenegaraan, tetapi juga berpengaruh dalam keyakinan dan
praktek-praktek kehidupan lainnya. Masyarakat adalah kesatuan hidup dari
makhluk-makhluk manusia yang terikat oleh suatu sistem adat istiadat
(Koentjaraningrat, 1996: 100). Masyarakat Jawa merupakan salah satu masyarakat
yang hidup dan berkembang mulai zaman dahulu hingga sekarang yang secara turun
temurun menggunakan bahasa Jawa dalam berbagai ragam dialeknya dan mendiami
sebagian besar Pulau Jawa (Herusatoto, 1987: 10). Di Jawa sendiri selain
berkembang masyarakat Jawa juga berkembang masyarakat Sunda, Madura, dan
masyarakat-masyarakat lainnya. Pada perkembangannya masyarakat Jawa tidak hanya
mendiami Pulau Jawa, tetapi kemudian menyebar di hampir seluruh penjuru
nusantara. Bahkan di luar Jawa pun banyak ditemukan komunitas Jawa akibat
adanya program transmigrasi yang dicanangkan pemerintah. Masyarakat Jawa ini
memiliki karakteristik tersendiri dibandingkan dengan masyarakat-masyarakat
lainnya, seperti masyarakat Sunda, masyarakat Madura, masyarakat Minang, dan
lain sebagainya. Karakteristik tersebut saat ini lebih banyak dikenal sebagai
salah satu kearifan lokal. Kearifan lokal masyarakat Jawa dapat ditinjau dari
beberapa aspek, seperti: Kebudayaan dan adat istiadat Jawa, Orang Jawa dilihat
dari segi kenikmatan hidup, Orang Jawa dilihat dari segi keyakinan dan
kepercayaan.
a. Kebudayaan
dan adat istiadat Jawa
Masyarakat adalah kesatuan hidup dari
mahluk mahluk manusia yang terikat oleh suatu system adat istiadat. Masyarakat
Jawa merupakan salah satu masyarakat yang hidup dan berkembang mulai zaman
dahulu hingga sekarang yang secara turun menurun menggunakan Bahasa jawa dalam
berbagai dialeknya dan mendiami sebagian besar Pulau Jawa. Di Jawa sendiri
selain berkembang masyarakat jawa juga berkembang masyarakat Sunda, Madura dan
masyarakat-masyarakat lainnya. Karakteristik budaya Jawa adalah religius, non
doktriner, toleran, dan optimistik.
Terdapat aturan dasar dalam
kehidupan masyarakat Jawa yang dikenal dengan Tri Panata, meliputi panata
basa (perilaku bahasa, sopan dalam berbicara); panata rasa (perilaku perasaan, memperhatikan perasaan orang lain
dan diri sendiri) dan panata karma
(perilaku tindakan, yaitu bersikap welas asih, sabar dalam menerima takdir, dan
memperlakukan alam dan sesama dengan bijak) (Sutarto, 2006). Lebih lanjut, Suyanto,
(1990) menggambarkan bahwa bentuk karakter masyarakat jawa seperti berikut ini
: (1) Percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai Sungkan Paraning Dumadii dengan segala sifat dan kebesarannya; (2)
Bercorak idealistis, percaya kepada sesuatu yang bersifat immaterill dan hal
hal yang bersifat adi kodrati serta cenderung ke arah mistik; (3) Lebih
mengutamakan hakikat daripada segi-segi formal dan ritual; (4) Mengutamakan
cinta kasih landasan pokok hubungan antar manusia; (5) Bersifat konvergen dan
universal; (6) Momot dan non sectarian;
(7) Cenderung pada symbolism; (8) Cenderung pada gotong royong, gayub, rukun
dan damai, dan; (9) Kurang kompetitif dan kurang mengutamakan materi.
Secara umum, doktrin yang
telah diturunkan dari orang tua kepada anaknya dalam budaya Jawa adalah
kepercayaan terhadap agama dan sistem kemasyarakatan Jawa. Kepercayaan terhadap
agama berakar pada agama Islam, Nasrani, Hindu, Budha yang memadukan unsur falsafah kehidupan Jawa di dalam menjalani
hidup. Tiga doktrin yang selalu dipegang oleh masyarakat Jawa adalah suci, narima ing pandum (penerimaan) dan eling (mawas diri dan
waspada). Jika tiga pegangan hidup tersebut dijalankan dengan baik, masyarakat
Jawa percaya bahwa hidup akan berjalan aman, sempurna dan selamat (rahayu lan slamet) (Sutarto, 2006;
Irawanto et al., 2011). Selain itu, terdapat suatu filosofi hidup yang
digunakan untuk menghadapi suatu perubahan dalam hidup, yaitu alon-alon waton kelakon,yang diartikan
sebagai pelan namun pasti.
Suku Jawa terkenal dengan sebagai suku
yang sangat lembut, halus rendah hati dan tidak suka mencari masalah. Namun
mereka memiliki semangat dan tekad yang kuat dalam menyeleseikan masalah dan
meraih sesuatu. Tekad kuat juga terungkap dalam ungkapan surya dirajaya ningrat, pangruwating diyu,lebur dening pangastuti artinya
siapapun yang berani membasmi angkara murka untuk membela kebenaran karena
adanya keyakinan bahwa angkara murka pasti dapat dikalahkan oleh kebaikan
(Sartini, 2009).
b. Orang
Jawa dilihat dari segi kenikmatan hidup
Orang Jawa cenderung menyukai
hidup nglaras, yaitu menyukai kenikmatan hidup atau menikmati hidup.
Untuk mendapatkannya mereka bersedia mengabaikan kepentingan-kepentingan
lainnya, sehingga dapat dikonotasikan sebagai mahkluk hedonisme yang memuja
atau mengedepankan kenikmatan (Sardjono, 1992). Gaya hidup seperti ini yang
mendorong orang Jawa memiliki etos kerja yang tinggi. Selain itu, sikap Nrimo
ing pandum khas
orang Jawa membuat mereka lebih tenang dengan segala kondisi yang ada, sehingga
hidup mereka lebih rileks dan dapat menikmati apa yang mereka miliki (Wijayanti
et al., 2010).
Pola kehidupan orang jawa memang
telah tertata sejak nenek moyang, berbagai nilai luhur kehidupan tetap terjaga
sampai saat ini.Orang Jawa sangat memegang teguh pepatah yang mengatakan:
ringan sama dijinjing, berat sama dipikul. Ini merupakan konsep dasar hidup
bersama yang penuh kesadaran dan tanggung jawab. Kebiasaan hidup secara
berkelompok menyebabkan rasa diri mereka sedemikian dekat satu dengan lainnya,
sehingga saling menolong merupakan sebuah kebutuhan.Mereka selalu memberikan
pertolongan kepada orang lain yang membutuhkan pertolongan. Bahkan dengan
segala cara mereka ikut membantu seseorang keluar dari permasalahan, apalagi
jika sesaudara atau sudah menjadi teman.
Idelogi kehidupan
masyarakat Jawa meliputi perilaku alus,
lair, batin mendasar kepada kehidupan sehari-hari dari masyarakat Jawa.
Dengan bersama-sama menerapkan prinsip dan ideologi hidup Jawa, akan mengarah
kepada kehidupan yang damai dan berkembang kepada filosofi ojo dumeh. Filosofi ini berarti bersikap rendah diri terhadap
segala kelebihan hidup yang diterima, yang mengarah pada penerimaan terhadap
kondisi hidup (Irawanto et al.,
2011). Dikaitkan dengan adaptasi masyarakat Jawa terhadap perubahan kondisi
kehidupan, filosofi nrimo ing pandum,
ojo dumeh, dan alon alon waton kelakon menyebabkan masyarakat Jawa untuk lebih
mudah beradaptasi terhadap perubahan kondisi lingkungan. Hal ini kemudian
menyebabkan masyarakat Jawa mampu bertahan pada kondisi lingkungan dan alam
yang kurang baik, dikarenakan sikap nrimo
dan keyakinan bahwa hidup yang dijalani
merupakan kelebihan yang dimiliki, serta yakin bahwa pelan namun pasti
kondisi akan berubah menjadi lebih baik.
c.
Orang Jawa dilihat dari segi keyakinan dan
kepercayaan
Filsafat dan pandangan hidup orang
Jawa merupakan hasil krida, cipta, rasa, dan karsa sebagai refleksi dari
realitas kehidupan (kasunyatan).Pandangan hidup orang Jawa banyak
dipengaruhi oleh budaya animisme-dinamisme, Hindu, Budha, dan Islam.Hal itu
tercermin pada pengadaan ritual slametan yang dulunya merupakan sarana
pemujaan roh-roh nenek moyang, kini lebih banyak dimasuki muatan-muatan Islam.
Menurut Haryanto (2013), selain merupakan bentuk permohonan dan ungkapan rasa
syukur kepada Tuhan YME, slametan juga sarat dengan ajaran moral dan
tata kelakuan (code of conduct) yang diharapkan menjadi pedoman hidup
masyarakat luas. Tujuan dari itu semua tidak lain adalah untuk menciptakan
kondisi kehidupan yang harmonis. Hal tersebut selaras dengan konsep memayu
hayuning buwono, mangasah mingising budi, mamasuh malaning bumi (memakmurkan
bumi, mengasah kepekaan batin, dan menghilangkan penyakit masyarakat).
Selain terdapat pada ritual-ritual
agama, simbol-simbol dalam dunia Jawa juga tersebar dalam bentuk fisik bangunan
dan konsep tata ruang. Salah satu mahakarya yang menjadi perwujudan dari
simbol-simbol dalam bentuk fisik bangunan dan konsep tata ruang adalah keraton
Yogyakarta. Bangunan-bangunan yang ada di Keraton Yogyakarta bukan sekedar
bangunan fisik yang memiliki fungsi tertentu.Bangunan-bangunan tersebut
memiliki makna simbolis atau filosofis hasil perenungan atau spekulasi melalui
olah nalar (creative thought), olah rasa (feelings) dan olah
pikir (intention). Ada dua prinsip yang menjadi akar utama pemikiran
Jawa yang disimbolisasikan dalam berbagai bangunan yang ada di keraton. Prinsip
pertama yaitu sangkan paraning dumadi-Manunggaling Kawula lan Gusti, yaitu
kesatuan antara penguasa dan rakyat. Kedua adalah prinsip Memayu
hayuning Rat, yakni mempertahankan keseimbangan kebenaran, keindahan dan
kebaikan alam (cosmic) baik mikro maupun makro.
Berdasarkan ketiga sudut pandang
tersebut, kekayaan kearifan lokal di masyarakat
Jawa yang berperan dalam membentuk pendidikan karakter. Kearifan lokal hanya
akan abadi kalau kearifan lokal terimplementasikan dalam kehidupan konkret
sehari-hari sehingga mampu merespons dan menjawab arus zaman yang telah
berubah. Kearifan lokal juga harus terimplementasikan dalam kebijakan
pengendalian laju degradasi lingkungan, misalnya dengan menerapkan penggunaan
sumber daya alam dan lingkungan dengan bijaksana dan bekerjasama atau gotong
royong secara kekeluargaan dalam pelaksanaan pencegahan terjadinya pencemaran
sebagai salah satu wujud kearifan lokal kita. Untuk mencapai itu, perlu
melestarikan kearifan local yang telah terbentuk sejak ratusan tahun yang lalu
di generasi muda masyarakat Jawa. Dengan demikian, kearifan lokal akan efektif
berfungsi sebagai senjata, tidak sekadar pusaka yang membekali masyarakatnya
dalam merespons dan menjawab terjadinya perubahan lingkunganzaman. Menggali dan
melestarikan berbagai unsur kearifan lokal, tradisi dan pranata lokal, termasuk
norma dan adat istiadat yang bermanfaat, dapat berfungsi secara efektif dalam
pendidikan karakter, sambil melakukan kajian dan pengayaan dengan
kearifan-kearifan baru. Hal inilah yang
menjadikan masyarakat Jawa tetap eksis dengan berbagai keunikannya, baik
dari segi budaya, agama, tata krama, dan lain sebagainya ditengah-tengah
terjadinya penurunan sumberdaya alam maupun degradasi kualitas lingkungan.
5.
Pulau Jawa sebagai Pilihan, akankah
berkelanjutan?
Sebagaimana yang telah
dibahas sebelumnya, terdapat berbagai faktor yang menyebabkan Pulau Jawa masih
tetap menjadi primadona masyarakat untuk menyambung hidupnya. Minimal terdapat
tiga faktor utama yang menyebabkan Pulau Jawa memiliki “nilai jual” yang tinggi
dibandingkan pulau-pulau lainnya di wilayah Republik Indonesia. Faktor utama
tersebut adalah: aktivitas manusia yang berlangsung di satuan region Pulau
Jawa, faktor geologis dan geografis, serta filosofi yang dipegang masyarakat di
Pulau Jawa secara general.
Dari segi aktivitas
manusia Pulau Jawa telah menjadi pusat kegiatan perekonomian, pendidikan,
teknologi, dan industri. Pulau Jawa menyusun kurang lebih 55% dari total
populasi Indonesia, lebih dari 141 juta jiwa pada tahun 2015. Dari segi
pendidikan tinggi, persentase jumlah pendidikan tinggi negeri dan swasta sekitar
berturut-turut sebesar 39.67% dan 47.94% (BPS, 2016), terbesar di Indonesia.
Belum lagi ditilik dari segi kesejarahannya, institusi perguruan tinggi telah lama dibangun di Pulau Jawa. Sebut saja
Universitas Indonesia (tahun 1849), Universitas Airlangga (tahun 1913),
Universitas Gajah Mada (tahun 1949), Institut Teknologi Bandung (tahun 1959),
dan Insititut Pertanian Bogor (tahun 1963), institusi perguruan tinggi tersebut
selalu menjadi incaran lulusan sekolah menengah atas untuk mengenyam bangku
pendidikan. Pada SNMPTN tahun 2015 sebanyak 137,005 siswa lolos SNMPTN dan
paling banyak diterima di perguruan tinggi negeri (PTN) yang berlokasi di Jawa
Timur (19,757 siswa), Jawa Barat (11,862 siswa), dan Jawa Tengah (11,777 siswa)
(Qodar, 2015). Tentunya arus urbanisasi di dalam Pulau Jawa sendiri serta dari
luar Pulau Jawa semakin menambah kepadatan penduduk.
Dunia konstruksi juga
menunjukkan pola yang serupa. Menurut data BPS tahun 2016, sebanyak 50%
pembangunan masih berpusat di wilayah administratif provinsi yang ada di Pulau
Jawa (BPS, 2016). Angka ini setara dengan gabungan seluruh persentase
konstruksi seluruh wilayah Indonesia. Tingginya angka konstruksi di Pulau Jawa
dapat dilihat sebagai bentuk eksternalitas positif dari lengkapnya
infrastruktur yang dibutuhkan industri, seperti sarana transportasi (jalan
raya, tol, kereta api, pelabuhan, dan bandar udara) dan pembangkit energi (PLTA
dan PLTU dengan daya di atas 800 MW). Taut kelindan sistem transportasi yang
kompleks dituntut untuk memenuhi kebutuhan mobilitas penduduk Pulau Jawa yang
semakin cepat. Berita-berita nasional tiap tahunnya selalu dihiasi topik arus
mudik Idul Fitri, Idul Adha dan Natal-Tahun Baru (Anonim, 2016). Adanya arus
kegiatan manusia yang tinggi juga menunjukkan adanya arus perputaran dana
moneter nasional. Dibandingkan PDB Indonesia secara keseluruhan, Pulau Jawa
menyumbang PDB Indonesia hingga 58.81 % pada triwulan II tahun 2016. Dan
sebagian besar PDB tersebut didominasi oleh jasa keuangan (BPS, 2016).
Berdasarkan
kesejarahannya Pulau Jawa telah menjadi pusat pemerintahan kolonial. Batavia
menjadi pusat pemerintahan dan pusat perdagangan rempah-rempah di kawasan
Hindia Timur. Berbagai arsitektur kolonial dengan mudah kita temui di kota-kota
besar Pulau Jawa. Dari gambaran ini saja menunjukkan keadaan masyarakat di
Pulau Jawa telah terstratifikasi secara kompleks dengan Batavia sebagai pusat
pemerintahannya. Pasca-kemerdekaan Indonesia dari kolonialisasi Belanda dan
Jepang, Pemerintah Republik Indonesia juga menjadikan Batavia. Akibatnya, bila
menilik pendapat Redfield tentang great-little tradition, maka Batavia
menjadi magnet bagi perubahan sosio-politik di Indonesia hingga sekarang, efek
yang sangat dirasakan adalah arus urbanisasi yang begitu kuat ke Pulau Jawa,
khususnya ke kawasan Jabodetabek. Akibatnya, muncul suatu area besar
Jabodetabeka yang tumbuh menyebar seperti membentuk “pulau” tersendiri
(Grydehøj et al. 2015).
Aspek ekonomi dan sosial
sangat memperkuat pengaruh anasir kebudayaan yang berada di Pulau Jawa dalam
membentuk identitas budaya nasional. Kuatnya pengaruh ini juga berdampak pada
pemberdaharaan kosakata dalam bahasa Indonesia.
Tercatat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi Keempat (2008)
terdapat 3,592 entri berasal dari bahasa daerah, dan bahasa Jawa (30.87%) dan
Sunda (6.21%) merupakan komponen serapan terbanyak dalam entri tersebut. Unsur
serapan yang banyak dari anasir budaya yang berasal dari Pulau Jawa tidaklah
berlebihan, sebab sebagian besar penutur bahasa Indonesia juga merupakan
penutur bahasa Jawa, sebesar 40.22%.
Dari aspek geografis
Pulau Jawa sangat mendukung kegiatan pertanian. Rangkaian gunung berapi
memberikan tanah vulkanik yang subur menambah kesuburan tanah untuk mendukung
kegiatan pertanian. Tiga produk pangan utama di indonesia: padi, jagung, dan
kedelai. Produksi padi tahun 2015 sebanyak 75.36 juta ton gabah giling kering.
Setengah dari nilai tersebut disumbang dari Pulau Jawa. Bahkan produksi jagung
dan kedelai dari Pulau Jawa lebih dari separuh produksi kedua komoditas dalam
skala nasional (BPS, 2016). Kemudahan akses produksi ditunjang dengan kemudahan
akses bahan baku semakin menambah daya tarik Pulau Jawa sebagai homebase industri-industri.
Melihat keunggulan komparatif Pulau Jawa yang mampu menunjang berbagai
aktivitas manusia, tak heran bila manusia pendukung yang hidup di Pulau Jawa
masih dapat sintas bertahan melewati zaman. Sarana dan prasana yang lengkap,
disertai dengan sikap laku manusia pendukung kebudayaannya yang cenderung
bekerja keras dan nrimo, membuat masyarakat pendukung budaya di Pulau
Jawa terus berevolusi menghadapi tantangan zaman yang berbeda. Akan tetapi,
akankah pendukung kebudayaan di Pulau Jawa masih dapat terus sintas? Atau
pendukung kebudayaan tersebut berevolusi menjadi suatu bentuk kebudayaan yang
lain? Pertanyaan ini sebenarnya adalah pertanyaan filosofis yang selalu
bergulat dalam relung dialektika kehidupan post-modern.
6.
Kesimpulan
Jawa adalah salah satu pulau di Indonesia dan merupakan salah satu yang di dunia. Dengan pertambahan
populasi tiap tahunnya menjadikan pulau ini berpenduduk
terbanyak di dunia dan merupakan salah
satu tempat terpadat di dunia. Fenomena yang terjadi di Pulau Jawa
menunjukkan adanya keterkaitan yang sangat erat antara aspek kependudukan dan
lingkungan. Dinamika yang terjadi di dalam aspek kependudukan akan mempengaruhi
kondisi lingkungan hidup dan juga sebaliknya. Dinamika penduduk adalah perubahan keadaan penduduk.
Perubahan perubahan tersebut dipengaruhi oleh beberapa hal. Pertumbuhan
penduduk di Pulau Jawa dipengaruhi oleh berbagai variabel demografi seperti
kelahiran, kematian, dan migrasi. Fenomena yang terjadi di Pulau Jawa
menunjukkan adanya keterkaitan yang sangat erat antara aspek kependudukan dan
lingkungan. Dinamika yang terjadi di dalam aspek kependudukan akan mempengaruhi
kondisi lingkungan hidup dan juga sebaliknya. Beberapa fenomena yang terkait
dengan degradasi lingkungan adalah terjadinya bencana yang disebabkan oleh ulah
manusia. Tradisi dan budaya Jawa tidak hanya memberikan warna dalam percaturan
kenegaraan, tetapi juga berpengaruh dalam keyakinan dan praktek-praktek
kehidupan lainnya. Masyarakat adalah kesatuan hidup dari makhluk-makhluk
manusia yang terikat oleh suatu sistem adat istiadat. Filsafat dan pandangan
hidup orang Jawa merupakan hasil krida, cipta, rasa, dan karsa sebagai refleksi
dari realitas kehidupan (kasunyatan). Hal
inilah yang menjadikan masyarakat Jawa tetap eksis dengan berbagai
keunikannya, baik dari segi budaya, agama, tata krama, dan lain sebagainya
ditengah-tengah terjadinya penurunan sumberdaya alam maupun degradasi kualitas
lingkungan.
Daftar Pustaka
Anonim, 2015, The World Factbook, Central
Intelegence Agency, terdapat pada: https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/id.html, diakses tanggal 25 Desember 2016.
Anonim, 2016, pergeseran kolom Jembatan Cisomang
di ruas tol Cipularang, terdapat di: http://regional.kompas.com/read/2016/12/27/19091381/pergerakan.tanah.disebut.penyebab.pergeseran.jembatan.cisomang
(Diakses 28 Desember 2016)
Arifianto E. 2010. Mengukur kinerja kota-kota
di Indonesia dengan pendekatan city development index (CDI): kajian studi pada
32 kota di Pulau Jawa tahun 2008 [tesis]. Jakarta (ID): Fakultas Ekonomi
Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik UI.
[BPS]
Badan Pusat Statistik Nasional. 2016. Statistik Indonesia 2016, Katalog
1101001. No. Publikasi 03220.1610: hal. 82
[BPS]
Badan Pusat Statistik. 2016. Berita Resmi Statistik No. 74/08/Th.XIX, 05
Agustus 2016: Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Triwulan II-2016.
Cullen
HM, deMonocal PB, Hemming S, Hemming G, Brown FH, Guilderson T, and Sirocko F.
2000. Climate change and the collapse of the Arkkadian empire: Evidence from
the deep sea. Geology Vol 28 No 4, 379 – 382.
Damaianto
B. dan Masduqi A., Indeks Pencemaran Air Laut Pantai Utara Kabupaten Tuban
dengan Parameter Logam, JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 3, No. 1, (2014) ISSN:
2337-3539 (2301-9271 Print)
Darmawan B, Chotib. 2007. Perkiraan Pola Migrasi Antar Provinsi di Indonesia Berdasarkan Indeks
Ketertarikan Ekonomi. Prosiding Seminar Poverty,
Population and Health. Depok (ID): Universitas Indonesia.
Ekawati S, Budiningsih K, Sylviani,
Suryandari E, Hakim I. 2015. Kajian tinjauan kritis pengelolaan hutan di Pulau
Jawa. Policy Brief. 9(1): 1-8.
Elizalde
MM, and Rohling EJ. 2012. Collapse of Classic Maya Civilization Related to
Modest Reduction in Precipitation. Science Vol 335, 956 – 959.
Erari
S.S., Mangimbulude J., Lewerissa K., 2012, PENCEMARAN ORGANIK DI PERAIRAN
PESISIR PANTAI TELUK YOUTEFA KOTA JAYAPURA, PAPUA (ORGANIC WASTE IN THE YOUTEFA
BAY SHORELINE OF JAYAPURA, PAPUA), Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa 2012
– ISBN : 978-979-028-550-7.
Glinka J., 2001, Asal Mula Orang Jawa, Suatu
Tinjauan Antropologis, Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Th XIV14, No
2, April 2001, 1-8.
Grydehøj
A et al. 2015. Returning from the horizon: Introducing urban island
studies. Urban Island Studies, 1(1): 1-19
Haug
GH, Günther D, Peterson LC, Sigman DM, Hughen KA, and Aeschlimann G. 2003.
Climate and the Collapse of Maya Civilization. Science Vol 299, 1731 - 1735.
Haryanto,
S. (2013). Dunia Simbol Orang Jawa.Kepel Press. Yogyakarta
Herusatoto,
Budiono. (1987). Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Hanindita.
Hodell
DA, Curtis JH, and Brenner M. 1995. Possible role of climate in the collapse of
Classic Maya civilization. Nature Vol 375, 391 – 394.
Imansyah
M.F., 2012, Studi Umum Permasalahan
dan Solusi DAS Citarum Serta Anaisis Kebijakan
Pemerintah, Jurnal Sosioteknologi Edisi 25 Tahun 11.
Irawanto, D. W., Ramsey, P. L., & Ryan, J.
C. (2011). Challenge of leading in Javanese culture. Asian Ethnicity, 12(2), 125-139.
Kartodiharjo,
Jhamtani. 2006. Politik Lingkungan dan
Kekuasan di Indonesia. Jakarta (ID): Equinox Publishing Indonesia
[KLHK] Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan. 2014. Statistik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2013.
Jakarta [IND]
Koentjaraningrat,
1996, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Malamassam
MA, Surtiari GAK. 2011. Identifikasi
Kesesuaian Penduduk dan Lingkungan di Pulau Jawa. Noveria M, editor.
Jakarta (ID): LIPI Press.
Mawardi I.,
2008, Upaya Meningkatkan Daya Dukung Sumberdaya Air Pulau Jawa., J.
Tek. Ling., Vol. 9 No. 1 Hal. 98-107, ISSN 1441-318X
Mawardi, I., 2010,
Pembangunan Yang Berorientasi Daya Dukung Dan Daya Tampung Lingkungan
Hidup (Kasus Pulau Jawa). Jurnal Perencanaan Pembangunan., Edisi03/TahunXVI.
Na’im, A. dan H, Syaputra. 2011. Kewarganegaraan,
Suku Bangsa, Agama, dan Bahasa Sehari-hari Penduduk Indonesia. Hasil Sensus
Penduduk 2010. Badan Pusat Statistik. Jakarta-Indonesia., terdapat di: http://demografi.bps.go.id/phpfiletree/bahan/kumpulan_tugas_mobilitas_pak_chotib/Kelompok_1/Referensi/BPS_kewarganegaraan_sukubangsa_agama_bahasa_2010.pdf (Diakses
29 Desember 2016)
Pasandaran
E, Syam M, Las I. 2011. Degradasi sumberdaya alam: ancaman bagi kemandirian
pangan nasional [Internet]. [diunduh 2016 Des 27]. Tersedia pada:
http://new.litbang.pertanian.go.id/buku/konversi-fragmentasi-lahan/BAB-II-2.pdf.
Pravitasari AE. 2009. Dinamika perubahan
disparitas regional di Pulau Jawa sebelum dan setelah kebijakan otonomi daerah
[tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana IPB.
Qodar
N. 2015. Cek di sini 137,005 siswa lulus SNMPTN 2015. [terhubung berkala] dari http://news.liputan6.com/read/2229185/cek-di-sini-137005-siswa-lulus-snmptn-2015
(29
Desember 2016)
Ridwan
M., Fathoni R., Fatihah I., Pangestu D.A., 2016, Struktur Komunitas
Makrozoobenthos di Empat Muara Sungai Cagar Alam Pulau Dua, Serang, Banten,
Al-Kauniyah Jurnal Biologi, 9(1), 57-65
Rusdiana, O., 2001, Kondisi dan Masalah Air
di Pulau Jawa, Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol. VII No. 1 : 49-54 (2001)
Sartini, N. W. (2009). Menggali nilai kearifan
lokal budaya Jawa lewat ungkapan (Bebasan, saloka, dan paribasa). DAFTAR ISI, 5(1), 28.
Sèmah AM, and Sèmah F. 2012. The rain
forest in Java through the Quaternary and its relationships with humans
(adaptation, exploitation and impact on the forest). Quaternary International
Vol 249, 120 – 128. Elsevier Ltd and INQUA.
doi:10.1016/j.quaint.2011.06.013
Supriharyono,
2007, Konservasi Ekosistem Sumberdaya Hayati di Wilayah Pesisir dan Laut
Tropis, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Sutarto, A. (2006). Becoming a true Javanese: A
Javanese view of attempts at Javanisation. Indonesia
and the Malay world, 34(98),
39-53.
Suyanto. (1990). Pandangan Hidup
Jawa. Semarang: Dahana Prize
Tarigan
MS. 2008. Sebaran dan luas hutan mangrove di Wilayah Pesisir Teluk Pising Utara
Pulau Kabaena Provinsi Sulawesi Tenggara. Bidang Dinamika Laut, Pusat
Penelitian Oseanografi, LIPI, Jakarta 14430, Indonesia. Makara, Sains 2: 108 –
112.
Tebba, S., (2007). Etika dan Tasawuf
Jawa: Untuk Meraih Ketenangan Hati. Pustaka. Tangerang hal. 102
Tolo,
EYS. 2013. Sejarah Ekonomi Politik Tata Kelola Hutan di Indonesia [internet]. [diacu 28 Desember 2016]. Tersedia dari: http://www.indoprogress.com/2013/sejarah-ekonomi-politik-tata-kelola-hutan-di-Indonesia
Umayah
S., Gunawan H., Isda M.N., 2016, Tingkat
Kerusakan Ekosistem Mangrove di Desa Teluk Belitung Kecamatan Merbau Kabupaten
Kepulauan Meranti, Jurnal Riau Biologia 1 (4): 24-30.
Weiss
H, Courty MA, Wetterstrom W, Guichard F, Senior L, Meadow R, and Curnow A. The
Genesis and Collapse of Third Millenium North Mesopotamian Civilization.
Science Vol 261, 995 – 1004.
Wijayanti, H dan Nurwianti, F. 2010.
Kekuatan karakter dan kebahagiaan pada suku Jawa., Jurnal Psikologi., Volume
3,No. 2, hal 114-122